BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang dilalui
oleh garis khatulistiwa, ini berarti Indonesia memiliki iklim yang tropis
dengan struktur tanah yang cenderung subur. Kesuburan itulah menjadikan
Indonesia sebagai negara agraris di mana penduduk negara Indonesia sebagian
besar bermatapencaharian sebagai petani, sehingga penduduk Indonesia sangat
menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.
Sebagai negara yang sebagian besar penduduknya
bermatapencaharian petani, tanah merupakan aset yang sangat
menunjang dalam kehidupan ekonominya.
Tanah juga sangat menentukan bagi kelangsungan hidup rakyat. Hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “ Bumi,
air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan diperuntukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Seperti halnya aset lain, tanah juga
dapat diperjualbelikan dan dijadikan obyek transaksi seperti, sewa tanah, bagi
hasil dengan obyek tanah, jual tahunan, serta gadai tanah. Praktik transaksi
yang berkaitan dengan tanah sangat sering kita jumpai di dalam masyarakat.
Sebagian besar pelaku transaksi adalah petani. Salah satu transaksi tanah yang
sering kita jumpai adalah gadai tanah.
Gadai tanah pertanian pada dasarnya adalah suatu transaksi tentang tanah
yang dijadikan sebagai obyek dalam jaminan hutang piutang antara pemilik tanah
atau yang menggadaikan dengan penerima gadai, dengan tujuan mendapatkan modal
dengan tidak menjual tanah yang dijadikan obyek dalam gadai tanah pertanian
tersebut, jadi gadai tanah pertanian itu memiliki hak tebus untuk mendapatkan
tanah pertanian yang telah digadaikan kepada sipenerima gadai tanah peertanian
tersebut.
Dikaitkan dengan Pancasila sebagai dasar filosofi bangsa
Indonesia, maka akan ditemui hakekat mengenai gadai tanah pertanian yang
didasarkan pada sila ke 5 Pancasila yang berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia, sila ini tersirat makna bahwa, seluruh rakyat indonesia
berhak utuk mendapatkan keadilan sosial termasuk di dalamnya pelaksanaan gadai
tanah pertanian yang dilakukan oleh masyarakat indonesia, selayaknya
mengedepankan keadilan sosial, yang bertujuan untuk menjaga kemakmuran yang
merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat, seluruh kekayaan
alam dipergunakan bagi kebahagiaan bersama menurut potensi masing-masing,
melindungi yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat bekerja sesuai
dengan bidangnya. Pelaksanaan gadai tanah pertanian juga selayaknya
mengedepankan rasa keadilan di dalamnya, untuk melindungi pihak dalam transaksi
gadai agar menjauhkan praktek pemerasan dalam pelaksanaan transaksi gadai tanah
pertanian, yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang mengedepankan keadilan
dalam setiap perilaku bermasyarakatnya yang tentunya sesuai dengan Pancasila
sebagai filosofi bangsa Indonesia.
Secara yuridis gadai tanah pertanian dimuat dalam Undang
Undang Dasar Republik Indonesia khususnya pada Pasal 33 ayat (3) yang
menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat,
yang selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960
tentang Pokok Agraria, namun hanya memuat pokok-pokok dan asas-asas saja, yang
tujuannya untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum, karena memuat
pokok-pokok dan asas-asas di bidang Agraria. Oleh sebab itu dibentuk dan
disusun lagi peraturan pelaksanaan atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Salah satu peraturan yang dibentuk sebagai peraturan pelaksanaan adalah
Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960, tentang penetapan luas tanah pertanian yang
berisikan batas minimum dan batas maksimum seseorang dapat memiliki tanah
pertanian, larangan pemilikan tanah guntai, pembatasan tentang pegang gadai,
mengatur tentang bagi hasil. Adapun mengenai pegang gadai menurut Pasal 7
Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960 ditetapkan bahwa tanah-tanah yang sudah digadai
selama 7 tahun (antara 5-10 tahun) atau lebih harus dikembalikan kepada si
penggadai tanpa kewajiban membayar uang tebusan. Pada kenyataannya banyak gadai
berlangsung bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun, bahkan ada pula yang
dilanjutkan oleh para ahli waris si pemegang gadai, karena penggadai tidak
mampu menebus tanahnya kembali
Secara sosiologis gadai tanah pertanian merupakan
bagaimana pelaksanaan gadai tanah pertanian itu berlangsung atau terjadi
didalam masyarakat, di Indonesia pelaksanaan gadai tanah pertanian dijalankan
menggunakan hukum adat masing masing daerah, yang pada dasarnya pelaksanaan
tersebut adalah suatu perjanjian yang mana mengunakan jaminan tanah pertanian
dalam transaksi hutang piutang dilaksanakan berdasar pada hukum adat daerah
masing masing. Intinya dalam pelaksanaan transaksi gadai tanah pertanian,
pemilik tanah atau penggadai wajib untuk melakukan pelunasan terhadap hutangnya
kepada pemegang gadai jika ingin tanah pertanianya kembali kepadanya.
A.
Rumusan
masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka
penulis merumuskan beberapa permasalahan pokok sebagai berikut:
1. Bagaimana
pengaturan Hak Gadai Tanah Pertanian pada masyarakat pedesaan setelah
berlakunya UUPA?
2. Bagaimana
kepastian hukum dari perjanjian gadai yang dilakukan di Masyarakat desa?
3. Bagaimana
peran Kepala Desa dalam kegiatan gadai tanah pertanian.
4. Bagaimanakah
penyelesaian Hak Gadai Tanah Pertanian menurut Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku?
B.
Tujuan
Tujuan yang ingin di capai dalam Makalah ini di
antaranya sebagai berikut.
1. Untuk
mengetahui pengaturan mengenai Hak Gadai tanah pada masyarakat adat atau
pedesaan.
2. Untuk
mengetahui kepastian hukum dari perjanjian gadai yang dilakukan di Masyarakat
desa.
3. Untuk
mendeskripsikan alasan Masyarakat masih melaksanakan atau tidak gadai tanah
pertanian, meskipun cenderung merugikan pihak penjual gadai.
4. Untuk
mendeskripsikan alasan kurang berperannya kepala desa terhadap adanya
5. pelaksanaan
gadai tanah pertanian.karena tidak adanya alasan perjanjian tertulis.
C.
Manfaat
1. Secara
teoritis
a. Hasil
Makalah ini di harapkan menambah keilmuan,serta dapat memberikan kegunaan untuk
mengembangkan ilmu hukum khususnya dalam hukum adat
b. Hasil
Makalah ini di harapkan dapat menjadikan referensi untuk yang lainnya
2. Secara
praktis
a. Bagi
masyarakat pada umumnya dan masyarakat desa pada khususnya dapat di jadikan
acuan dalam melaksanakan gadai tanah pertanian sesuai dengan peraturan yang
berlaku,sehingga hak-hak pembeli gadai dan penjual gadai dalam pelaksanaan
gadai tanah pertanian dapat terjamin
b.
Dengan
adanya makalah ini dapat memahami pemahaman masyarakat desa terhadap Hukum Adat
dan Hukum Nasional mengenai ketentuan gadai tanah pertanian.
BAB III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gadai
Gadai
sebagai suatu hak yang mendahulu dari seseorang kreditor untuk memperoleh
pelunasan piutangnya dapat dibaca dalam rumusan Pasal 1133 dan Pasal 1134 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan:
Pasal 1133
Hak
untuk didahulukan diantara para kreditor terbit dari hak istimewa, dari gadai
dan dari hipotek.
Tentang gadai dan
hipotek diatur dalam Bab XX dan Bab XXI buku ini.
Pasal 1134
Hak
istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang
berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang yang berpiutang
lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
Gadai
dan hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di
mana olehUndang-Undang ditentukan sebaliknya.
Gadai
adalah suatu hak kebendaan yang bersifat
assessoir yang diberikan oleh pihak pemberi gadai (debitor) kepada pemegang gadai (kreditor)
sebagai jaminan atas pembayaran utang.[1]
Pengertian dari gadai sendiri di atur dalam Pasal 1150 KUHPerdata, yang
merumuskannya sebagai berikut: “Gadai
adalah Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang lain
atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk
mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada
orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang
tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang
itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan”. Dari rumusan yang
diberikan tersebut dapat diketahui bahwa untuk dapat disebut gadai, maka
unsur-unsur berikut dibawah ini harus dipenuhi:[2]
1. Gadai
diberikan hanya atas benda bergerak;
2. Gadai
harus dikeluarkan dari penguasa Pemberi Gadai;
3. Gadai
memberikan hak kepada kreditor untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas
piutang kreditor (droit de preference);
4.
Gadai memberikan
kewenangan kepada kreditor untuk mengambil sendiri pelunasan secara mendahulu
tersebut.
Kewenangan kreditur adalah
kewenangan untuk melakukan pelelangan terhadap barang debitur. Penyebab
timbulnya pelelangan ini adalah karena debitur tidak melaksanakan prestasinya
sesuai dengan isi kesepakatan yang dibuat antara kreditur dan debitur, walaupun
debitur telah diberikan somasi oleh kreditur.[3]
B.
Sejarah Umum
Sejarah Pegadaian dimulai pada saat Pemerintah Penjajahan
Belanda (VOC) mendirikan Bank Van Leening, yaitu lembaga keuangan yang
memberikan kredit dengan system gadai. Lembaga ini pertama kali didirikan di
Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746.
Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan Indonesia
dari tangan Belanda (1811), Bank Van Leening dibubarkan, dan kepada masyarakat
di beri keleluasaan untuk mendirikan usaha Pegadaian dengan mendapat lisensi
dari pemerintah di daerah setempat. Metode ini dikenal dengan liecentiestelsel.
Dalam perjalanannya, metode tersebut banyak menimbulkan dampak buruk bagi
kehidupan masyarakat. Banyak pemegang lisensi menjalankan praktek rentenir atau
lintah darat yang tidak saja membebani masyarakat, tapi juga di pandang kurang
menguntungkan bagi pemerintah berkuasa. Sehingga akhirnya metode
liecentiestelsel diubah menjadi metode pacthstelsel, yaitu pendirian Pegadaian
diberikan kepada umum yang mampu membayarkan pajak yang tinggi kepada
pemerintah.
Pada saat Belanda berkuasa kembali, metode
pacthstelsel tetap dipertahankan. Namun menimbulkan dampak yang sama, di mana
pemegang hak ternyata banyak melakukan penyelewengan dalam menjalankan
bisnisnya. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda menerapkan metode baru yang
disebut dengan cultuurstelsel, di mana kegiatan Pegadaian ditangani sendiri
oleh pemerintah agar dapat memberikan perlindungan dan manfaat yang lebih besar
bagi masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pemerintah
Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad (Stbl) No. 131 tanggal 12 Maret 1901
yang mengatur bahwa usaha Pegadaian merupakan monopoli Pemerintah dan tanggal 1
April 1901 didirikan Pegadaian Negara pertama di Sukabumi (Jawa Barat).
Selanjutnya setiap tanggal 1 April di peringati sebagai Hari Ulang Tahun
Pegadaian.
Pada masa pendudukan Jepang, Gedung Kantor Pusat
Jawatan Pegadaian yang terletak di Jalan Kramat Raya 162 di jadikan tempat
tawanan perang dan Kantor Pusat Jawatan Pegadaian di pindahkan ke Jalan Kramat
Raya 132. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada masa pemerintahan Jepang,
baik dari sisi kebijakan maupun Struktur Organisasi Jawatan Pegadaian. Jawatan
Pegadaian dalam Bahasa Jepang disebut Sitji Eigeikyuku, Pimpinan Jawatan
Pegadaian di pegang oleh orang Jepang yang bernama Ohno-San dengan wakilnya
orang pribumi yang bernama M. Saubari.
Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia,
Kantor Jawatan Pegadaian sempat pindah ke Karang Anyar (Kebumen) karena situasi
perang yang kian terus memanas. Agresi militer Belanda yang kedua memaksa
Kantor Jawatan Pegadaian di pindah lagi ke Magelang. Selanjutnya, pasca perang
kemerdekaan Kantor Jawatan Pegadaian kembali lagi ke Jakarta dan Pegadaian
kembali di kelola oleh Pemerintah Republik Indonesia.[4]
Dalam
masa ini Pegadaian sudah beberapa kali berubah status, yaitu sebagai Perusahaan
Negara (PN) sejak 1 Januari 1961, kemudian berdasarkan PP.No.7/1969 menjadi
Perusahaan Jawatan (PERJAN), selanjutnya berdasarkan PP.No.10/1990 (yang di
perbaharui dengan PP.No.103/2000) berubah lagi menjadi Perusahaan Umum (PERUM).
Hingga pada tahun 2011, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
nomor 51 tahun 2011 tanggal 13 Desember 2011, bentuk badan hukum Pegadaian
berubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
a.
Subjek gadai terdiri
atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai. Pendgever
yaitu orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda
bergerak selaku gadai kepada penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan
kepadanya atau pihak ketiga. Unsur-unsur pemberi gadai, yaitu:[5]
1.
Orang atau badan hukum;
2.
Memberikan jaminan berupa benda
bergerak gadai;
3.
Kepada penerima gadai;
4.
Adanya pinjaman uang.
Penerima gadai (pandnemer) adalah orang atau badan
hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya
kepada penerima gadai (pandnemer). Di Indonesia, badan hukum yang ditunjuk
untuk mengelola lembaga gadai adalah perusahaan pegadaian. Perusahaan ini
didirikan berdasarkan:[6]
1.
PP Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian;
2.
PP Nomor 10 Tahun 1970 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian; dan
3.
PP Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.
Sifat usaha dari perusahaan pegadaian ini adalah
menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan
berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
b.
Objek Gadai ini adalah benda bergerak. Benda bergerah ini dibagi
menjadi 2 (dua) macam, yaitu:[7]
1.
Benda bergerak berwujud, adalah benda yang dapat berpindah atau
dipindahkan. Contoh: Kendaraan seperti mobil, sepeda motor; Perhiasan seperti
mas, berlian, mutiara, intan, perak, dan lain-lain; Mesin-mesin seperti mesin
jahit, mesin pembajak sawah, mesin disel/pembangkit listrik, pompa air dan
segala jenis.
2.
Benda bergerak yang tidak berwujud.
Contohnya: surat-surat
berharga seperti, Tabungan; Deposito berjangka; Sertifikat deposito;
Wesel; Promes; Konosemen; Obligasi; Saham-saham.
D.
Kedudukan dan Kepastian Hukum Suatu Perjanjian dalam
Kegiatan Gadai
Kedudukan
dan Kepastian Hukum Gadai dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan
berikut ini.
1.
Pasal 1150 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1160 Buku II KUH
Perdata;
2.
Artikel 1196 vv, title 19 Buku III NBW;
3.
Peraturan Pemerintar Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian;
4.
PP Nomor 10 Tahun 1970 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian; dan
5.
PP Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.
Gadai Tanah Pertanian di atur dalam Undang-Undang Nomer 56 tahun 1960, Gadai tanah ini bukan
dikonstruksikan sebagai perjanjian tambahan, tetapi merupakan perjanjian yang
berdiri sendiri dimana yang jadi objeknya adalah tanah. Kalau sifatnya sebagai
jaminan maka ketika perjanjian pokok terjadi wan prestasi, maka barang gadai
tidak akan dilakukan pelelangan.[8]
E.
Gadai Tanah Pertanian
a.
Pengertian gadai tanah
pertanian
Gadai tanah
merupakan penyerahan tanah untuk
menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual
tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali (Imam
Sudiyat, 1978: 32). Berbeda dengan pendapat Van Volenhovenyang dikutip oleh Ter
Haar (1994: 89), bahwa gadai tanah merupakan perjanjian atau transaksi yang
menyebabkan tanah pemilik diserahkan untuk menerima sejumlah uang tunai, dengan
kesepakatan bahwa pemilik tanah akan dan berhak mengembalikan tanah tersebut, dengan
membayar uang yang sama.
Dari kedua
pengertian di atas, dapat diambil benang merah bahwa gadai tanah merupakan
suatu perjanjian antara penjual gadai dan pembeli gadai untuk menguasai tanah
dalam jangka waktu tertentu. Adapun
gadai tanah pertanian sendiri merupaka penyerahan tanah pertanian dengan
pembayaran uang secara tunai untuk menguasai tanah dalam jangka waktu tertentu.
Penyerahan ini dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak penjual gadai dan pihak
pembeli gadai.
b.
Pelaksanaan gadai tanah
pertanian
Pada pelaksanaan
gadai tanah pertanian yang menjadi obyek bukanlah tenaga kerja atau tanaman,
melainkan tanah. Karena obyek tersebut adalah tanah, maka harus dilakukan
dengan sepengetahuan kepala persekutuan atau kepala desa. Hal ini agar
mendapatkan kepastian hukum yang lebih kuat. Sejalan dengan pendapat Effendi
Perangin (1991: 307), bahwa gadai menggadai biasanya dilakukan di muka kepala
desa atau kepala adat. Kehadiran pejabat tersebut umumnya bukan merupakan
syarat bagi sahnya gadai menggadai,
melainkan untuk memperkuat kedudukannya, sehingga dapat mengurangi risiko pemegang gadai jika
kemudian hari ada sanggahan. Gadai menggadai yang tidak dibuatkan akta atau
bukti yang tertulis akan menimbulkan kesulitan bagi penjual gadai atau pemilik
tanah, jika pada jangka waktu tanahnya akan ditebus, pembeli gadai menolaknya
dengan alasan yang mereka lakukan bukanlah gadai menggadai merupakan jual
lepas. Telebih jika sipenjual gadai dan pemegang gadai sendiri sudah meninggal
dunia dan hubungan gadai diteruskan ahli warisnya. Dalam hal ini keterangan
saksi merupakan alat pembuktian yang penting.
Transaksi tanah
dengan sepengetahuan kepala persekutuan hukum juga harus dibuat dengan dengan
akta agar menjadi terang (Ter Haar, 1974: 65). Mengenai akta yang dimaksud dalam gadai tanah, tidak sama
dengan yang dimaksud sekarang ini (akta otentik) karena yang dimaksud dengan
akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dengan bentuk yang ditentukan oleh
Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang. Akta
yang dimaksud dalam gadai tanah pertanian adalah akta bawah tangan yang tidak
memerlukan tanda tangan pejabat umum yang berwenang (notaris) hanya cukup
dengan tanda tangan pemerintah setempat, serta memerlukan pengakuan dari pihak
yang berkepentingan agar mempunyai kekuatan pembuktian.
Setelah
perjanjian gadai tanah pertanian dilaksanakan, pembeli gadai tidak dapat
menuntut penjual gadai untuk menebus, jika pembeli gadai membutuhkan uang maka
pembeli gadai dapat mengoperkan gadai dan menggadaikan kembali. Pembeli gadai
dapat mengoperkan tanah gadainya kepada pihak ketiga dengan seizin dan
sepengetahuan penjual gadai sehingga terjadi pergantian subjek dalam perjanjian
yang sama. Dalam pengoperan gadai hubungan hukum antara penjual gadai dengan
pembeli gadai semula berubah menjadi hubungan hukum antara penjual gadai dan
pihak ketiga.[9]
Pembeli gadai juga dapat menggadaikan tanah tersebut tanpa sepengetahuan dan
seizin penjual gadai.
Menurut Imam
Sudiyat (1978: 34), menggadaikan kembali dilakukan dengan ketentuan,
sewaktu-waktu pembeli gadai dapat menebus tanah itu dari pihak ketiga, sehingga
terjadi dua perutangan yaitu antara penjual gadai semula dengan pembeli gadai
semula secara terang-terangan dan perutangan antara pembeli semula yang menjadi
pembeli gadai baru tanpa diketahuai penjual gadai (sembunyi-sembunyi).
Jadi dalam pelaksanaan gadai tanah pertanian,
meskipun pembeli gadai membutuhkan uang, pembeli gadai tidak boleh memaksa
penjual gadai untuk menebus tanah tersebut. Dalam hal ini pembeli gadai dapat
mengoperkan gadai atau menggadaikan kembali tanah pertanian tersebut kepada
orang lain.
c.
Jangka waktu gadai
tanah pertanian
Lama waktu hak gadai dapat dimiliki
dan tanah dapat dikuasai ditentukan dalam dalam Pasal 7 UU No. 56 Prp. Tahun
1960. Jangka waktu gadai tanah paling lama 7 tahun, jika hak gadai tanah
pertanian itu sudah berlangsung selama 7 tahun maka pemegang gadai wajib
mengembalikan tanahnya kepada penggadai tanpa adanya uang tebusan dalam waktu
satu bulan setelah tanaman yang ada dipanen sejak perjanjian itu dilaksanakan.
Eddy Ruchiyat (1983: 70), menyebutkan bahwa hubungan
gadai yang jangka waktunya tidak ditentukan, dilakukan dengan perjanjian dan
selama jangka waktu tertentu tidak boleh dilakukan penebusan. Hal ini berarti
perjanjian seperti demikian memberi kesempatan kepada pembeli gadai untuk
mengerjakan tanah tersebut secara maksimal sesuai dengan waktu yang
telah disepakati, namun tidak boleh melebihi 7 tahun. Bisa juga diadakan
perjanjian gadai tanah pertanian tanpa ada batasan waktu, namun penjual gadai
tetap melakukan penebusan jika ia ingin kembali menguasai tanahnya sebelum
waktu 7 tahun. Setelah waktu 7 tahun barulah penjual gadai dapat menguasai
kembali tanah tersebut tanpa harus melakukan penebusan. Dengan penyerahan gadai
tanah pertanian dilakukan setelah dilakukan penebusan atau setelah tujuh tahun
gadai itu berlangsung.
Sebelum gadai berakhir pembeli
gadai dapat saja menambahkan uang gadainya. Menurut Effendi Perangin (1986:
304) berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 20 1963,
sebelum gadai berakhir kemudian pemegang gadai menambahkan uang gadainya, baik
bentuk uang atau bentuk lainnya, dalam penambahan itu harus dilakukan secara
tertulis dengan melalui cara yang lazim seperti pada waktu gadai tersebut
dilakukan. Jika penambahan gadai tersebut dilakukan secara tertulis, timbul gadai baru dengan jumlah uang yang
baru pula. Sebaliknya apabila penambahan uang gadai tidak dilakukan secara
tertulis, maka tidak menimbulkan gadai baru.
Jadi dalam gadai tanah pertanian
dapat dimungkinkan terjadi penambahan uang gadai tanah pertanian. Penambahan
tersebut dapat dilakukuan secara tertulis maupun tidak tertulis. Penambahan
uang gadai yang dilakukan secara tertulis akan menimbulkan perjanjian baru yang
waktunya ditung ketika penambahan uang tersebun, namun apabila tidak dilakukan
dengan tertulis maka tidak akan menimbulkan gadai baru.
d.
Hapusnya hak gadai
tanah pertanian
Seperti halnya hak tanah lainnya,
hak gadai dapat juga hapus. Maksud dari hapusnya hak gadai bahwa pemebeli gadai
sudah tidak lagi memiliki hak tanah yang sebelumnya dikuasai dengan hak gadai.
Menurut Effendi Perangin hak gadai dapat hapus disebabkan oleh beberapa hal
sebagai berikut:[10]
1.
Telah dilakukan penebusan
oleh sipemberi gadai;
2.
Sudah berlangsung 7
tahun bagi gadai tanah pertanian, tambak dan tanaman keras;
3.
Putusan pengadilan
dalam rangka menyelesaikan gadai dengan “milik-beding”;
4.
Dicabut untuk
kepentingan umum; dan
5.
Tanahnya musnah.
Jadi dapat dikatakan bahwa
penebusan bukan satu-satunya penyebab hak gadai itu hapus. Hak gadai juga dapat
hapus apabila tanahnya musnah karena bencana alam, seperti banjir atau longsor
yang menyebabkan tanah tersebut hilang atau musnah. Hapusnya hak gadai karena bencana
bisa saja terjadi, karena menginggat Indonesia sendiri merupakan wilayah yang
rawan bencana alam.
F.
Transaksi Tanah Dalam Hukum Adat
Sifat umum Hukum
Adat Indonesia menjadikan dasar suatu ciri dari kedudukan tanah dalam
masyarakat adat dan transaksi tanah dalam Hukum Adat. Pada sifat religio magis
disesebutkan bahwa tanah merupakan tempat tinggal dayang-dayang pelindung
persekutuan dan roh para leluhur persekutuan (Surojo Wignjodiputro, 1968: 197).
Pada corak komunal, menurut Imam Sudiyat (1981:37), tanah merupakan gantungan
hidup dari suatu masyarakat yang masih hidup terpencil, masayakat yang semacam
itulah yang masih mempunyai sifat lebih mementingkan kepentingan umum daripada
kepentingan pribadi, sedangkan untuk sifat kontan mengandung perbuatan nyata,
suatu perbuatan simbolis atau pengucapan perbuatan hukum yang dimaksud telah
selesai ketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala perbuatan atau mengucapkan yang diharuskan
oleh hukum adat (Imam Sudiyat, 1981: 37). Jual beli tanah pada masyarakat adat
juga bersifat kontan, karena pembayaran
dan penyerahan tanah terjadi secara bersamaan. Menurut Imam Sudiyat
(1981: 38), sifat konkrit dalam transaksi tanah terlihat pada adanya panjer
sebagai simbol visual dari adanya transaksi jual beli atau pemindahan hak atas
tanah yang akan dilakukan. Jadi empat unsur dari ciri Hukum Adat Indonesia juga
dapat ditemui pada kedudukan tanah dalam masyarakat adat dan transaksi tanah
dalam Hukum Adat.
Pada transaksi
tanah, dalam hukum adat dikenal dua perjanjian tanah. Perjanjian tanah terbagi
menjadi perjanjian tanah yang bersegi satu dan bersegi dua. Menurut Surojo
Wignjodiputro (1968: 206), perjanjian hukum yang bersegi satu seperti pertama
pendirian pada suatu desa oleh sekelompok orang yang mendiami tempat tertentu
sehingga timbul hubungan-hubungan hukum yang bersifat religio magis antara desa
dengan tanah tersebut sehingga tumbuh hak atas tanah tersebut. Berbeda dengan
perbuatan hukum dua pihak (bersegi dua) menurut Bushar Muhamad (1988: 112),
inti dari transaksi perjanjian tanah yang bersegi dua atau bersifat perbuatan
hukum dua pihak adalah, pengoperan ataupun penyederhanaan dengan disertai
pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu. Dalam istilah bahasa Indonesia
disebut sebagai menjual, sedangkan dalam bahasa jawa adol, sade. Menurut isinya
jual ini dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
1.
penyerahan tanah dengan
pembayaran kontan disertai dengan ketentuan bahwa yang menyerahkan tanah dapat
memiliki kembali tanah tersebut dengan pembayaran sejumlah uang;
2.
pembayaran tanah dengan
kontan tanpa syarat, jadi untuk seterusnya atau selamaya. Disebut adol, pasti
(Bogor), run tumurun (Jawa), menjual jada (Kalimantan), menjual lepas (Riau dan
Jambi);
3.
penyerahan tanah dengan
pembayaran kontan dengan disertai perjanjian bahwa apabila kemudian tidak ada
perbuatan hukum lain, sesudah satu dua tahun atau beberapa kali panen, tanah
itu kembali lagi kepada pemilik semula disebut menjual tahunan, adol oyodan
(Jawa).[11]
Transaksi
tanah tersebut supaya mendapatkan perlindungan hukum seharusnya dibuat secara
tertulis dan transaksi disaksikan oleh kepala persekutuan. Menurut Surojo
Wignjodiputro (1968: 207), dengan adanya transaksi yang dilakukan di depan
ketua adat, dapat menjadikan transaksi tersebut menjadi terang atau tidak
gelap. Untuk bantuan ini kepala persekutuan atau kepala adat lazimnya menerima
uang saksi atau pagopago (Batak). Hal
senada juga dijelaskan oleh Imam Sudiyat (1978: 33) bahwa transaksi yang
dilakukan dengan bantuan hukum atau kesaksian dari kepala persekutuan hukum
akan menjadi terang, terjamin atau terlindungi oleh hukum, teruatama terhadap
adanya gugatan dari pihak ketiga.
Dalam
transaksi tanah, kesaksian dari kepala adat atau kepala persekutuan hukum
mempunyai kedudukan penting dalam rangka mendapatkan perlindungan hukum
terhadap gugatan dari pihak ketiga. Meskipun sebenarnya kesaksian dari kepala
adat bukan syarat sahnya perjanjian.
G.
Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai
Setelah dilakukan perjanjian gadai tanah, maka terdapat hak
dan kewajiban yang masing-masing dimiliki oleh pemberi gadai dan penerima
gadai. Hak dan kewajiban pemberi gadai yaitu:[12]
a.
Setelah menerima uang gadai, maka segera tanah yang
digadaikan itu diserahkan kepada pihak yang memberi uang atau disebut dengan
pemegang gadai.
b.
Pemberi gadai dapat sewaktu-waktu menebus tanahnya dengan
syarat pemegang gadai sudah memetik hasilnya (panen) paling sedikit satu kali.
c.
Jika tanah yang digadaikan musnah, pemberi gadai tidak dapat
dituntut untuk mengembalikan uang gadai yang telah diterima.
d.
Jika ada perbedaan nilai uang pada waktu menggadai dan
menebus, maka harus menanggung resiko bersama-sama dengan pemegang gadai.
Sedangkan hak dan kewajiban penerima
gadai yaitu:
a. Setelah membayar uang gadai, maka
pemegang gada menguasai tanah gadai tersebut, untuk dipelihara dan berhak pula
menggunakan serta memungut hasilnya.
b. Apabila sewaktu-waktu pemegang gadai
ini membutuhkan uang, maka berhak melakukan pendalaman gadai dengan seijin
pemilik tanah atau menganakkan gadai.
c. Jika tanah gadai tersebut musnah
karena bencana alam, maka pemegang gadai tidak boleh menuntut kembali uang
gadainya.
d. Wajib mengembalikan tanah gadai
setelah dikuasai selama 7 tahun.
e. Perjanjian gadai yang disertai
perjanjian bahwa dalam waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak menebus
kembali tanahnya, maka dengan perantara Pengadilan Negeri barulah pemegang
gadai ini dapat memiliki tanah gadai tersebut sesuai dengan perjanjian. Kalau
perlu dengan menambah uang sesuai dengan harga tanah jika dijual lepas.
H.
Hak Retentie Pemegang Gadai
Hakretensi
(retentie) menurut J. Satrio, menjelaskan bahwa hak retensi adalah hak yang
diberikan kepada kreditur tertentu, untuk menahan benda debitur, sampai tagihan
yang berhubungan dengan benda tersebut dilunasi, sebagaimana terdapat dalam
Pasal 575 ayat (2), Pasal 1576, Pasal 1364 ayat (2), Pasal 1616, Pasal 1729,
danPasal 1812 KUHPer.
Pasal 575 ayat (2) KUHPer
Selanjutnya ia berhak menuntut kembali segala biaya yang
telah harus dikeluarkan guna menyelamatkan dan demi kepentingan barang
tersebut, demikian pula Ãa berhak menguasai barang yang diminta kembali itu
selama ia belum mendapat penggantian biaya dan pengeluaran tersebut dalam pasal
ini.
Pasal 1576 KUHPer
Dengan dijualnya barang yang disewa, sewa yang dibuat
sebelumnya tidak diputuskan kecuali bila telah diperjanjikan pada waktu
menyewakan barang. Jika ada suatu perjanjian demikian, penyewa tidak berhak
menuntut ganti rugi bila tidak ada suatu perjanjian yang tegas, tetapi jika ada
perjanjian demikian, maka ia tidak wajib mengosongkan barang yang disewa selama
ganti rugi yang terutang belum dilunasi.
Pasal 1364
ayat (2) KUHPer
Orang yang menguasai barang itu
berhak memegangnya dalam penguasaannya hingga pengeluaran-pengeluaran tersebut
diganti.
Pasal 1616 KUHPer
Para buruh
yang memegang suatu barang milik orang lain untuk mengerjakan sesuatu pada
barang itu, berhak menahan barang itu sampai upah dan biaya untuk itu dilunasi,
kecuali bila untuk upah dan biaya buruh tersebut pemberi tugas itu telah
menyediakan tanggungan secukupnya.
Pasal 1729 KUHPer
Penerima titipan berhak menahan barang titipan selama belum
diganti semua ongkos kerugian yang wajib dibayar kepadanya karena penitipan
itu.
Pasal 1812 KUHPer
Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberikuasa
yang berada di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang
dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa.
Lebih
lanjut, J. Satrio mengatakan bahwa hak retensi/menahan tersebut memberikan
tekanan kepada debitur agar segera melunasi utangnya. Kreditur dengan hak
retensi sangat diuntungkan dalam penagihan piutangnya. Hak retensi berbeda
dengan hak-hak jaminan kebendaan yang lain, karena ia tidak diperikatkan secara
khusus, tidak diperjanjikan, dan bukan diberikan oleh undang-undang dengan
maksud untuk mengambil pelunasan lebih dahulu dari “hasil penjualan” benda-benda debitur, tetapi sifat jaminan di sana
muncul demi hukum, karena ciri/sifat dari pada lembaga hukum itusendiri. Namun
demikian, ia tetap bukan merupakan privilege, karena privilege ditentukan
sebagai demikian oleh undang-undang.[13]
I.
Hapusnya Gadai Pertanian
Seperti halnya hak tanah lainnya, hak gadai dapat juga
dihapus. Maksud dari hapusnya hak gadai bahwa pembeli gadai sudah tidak lagi
memiliki hak tanah yang sebelumnya dikuasai dengan hak gadai. Menurut Effendi Perangin
hak gadai dapat hapus disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:[14]
1.
Telah dilakukan penebusan oleh sipemberi gadai;
2.
Sudah berlangsung 7 tahun bagi gadai tanah pertanian, tambak
dan tanaman keras;
3.
Putusan pengadilan dalam rangka menyelesaikan gadai dengan
“milik-beding”;
4.
Dicabut untuk kepentingan umum; dan
5.
Tanahnya musnah.
Jadi dapat
dikatakan bahwa penebusan bukan satu-satunya penyebab hak gadai itu hapus. Hak
gadai juga dapat apabila tanahnya musnah karena bencana alam, sperti banjir
atau longsor yang menyebabkan tanah tersebut hilang atau musnah. Hapusnya hak
gadai karena bencana bisa saja terjadi, karena mengingat Indonesia sendiri
merupakan wilayah yang rawan bencana alam.
J.
Peran Kepala Desa dalam Pelaksanaan Gadai Pertanian
Kepala desa merupakan ujung tombak
dari pemerintahan desa, maju tidaknya suatu desa tergantung pada pemerintahan
dari kepala desa, meskipun kepemimpinan atau pemerintahan dari kepala desa
bukanlah satu-satunya indikator dalam maju tidaknya suatu desa. Dalam
melaksanakan pemerintahnnya, kepala desa berkewajiban untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sebagaimana telah diamanatkan dalam Peraturan
Pemerintah No 72 Tahun 2005 mengenai Desa.
Mengenai sosialisasi undang-undang
gadai tanah pertanian bukanlah kewenangan kepala desa. Dalam menyampaikan
informasi ataupun sosialisasi mengenai undang-undang yang mengatur gadai tanah
pertanian adalah kewenangan dari lembaga pegadaian ataupun pihak lain. Dari
pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa selama ini kepala desa berpandangan
bahwa gadai tanah pertanian sama dengan gadai-gadai yang dilakukandi lembaga
pegadaian, sehingga kepala desa beranggapan bahwa pemberian sosialisasi
ketentuan gadai tanah pertanian merupakan kewenangan dari pihak lembaga
pegadaian yang disebutnya dengan istilah dinas pegadaian. Dalam hal sosialisasi
undang-undang mengenai gadai tanah pertanian kepala desa seyogyanya tidak
menyerahkan kepada instansi atau lembaga lain begitu saja, karena kepala desa
juga bertugas untuk menyampaikan sosialisasi tersebut kepada masyarakat dan
menjadikan gadai tanah pertanian sebagai lembaga yang dapat melindungi
masyarakatnya dari unsur pemerasan, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat
tercapai.
BAB
IV
PENUTUP
5.
Kesimpulan
Permasalahan-permasalahan yang terjadi
pada praktik gadai tanah pertanian masyarakat pedesaan dikarenakan tidak adanya
kepastian hukum atas perjanjian gadai yang dibuat di antara kedua belah pihak
yang bersepakat. Praktek gadai yang umumnya dilakukan oleh masyarakat pedesaan
cenderung mengeksploitasi, dikarenakan tidak adanya ketentuan mengenai
pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan dalam hukum
adat, sehingga jika pemilik tanah tidak dapat menebus tanahnya, tanah tetap
dikuasai oleh pemegang gadai yang intinya lebih menguntungkan pihak pembeli
gadai. Gadai yang terjadi di lingkungan masyarakat pedesaan hanya didasari rasa
kekeluargaan dan kepercayaan semata.
Kurangnya pemahaman akan batasan-batasan
yang berlaku bagi pembeli gadai tanah pertanian, jangka waktu berlakunya tanah
gadai, ketentuan-ketentuan hukum positif yang berlaku di samping apa yang
umumnya dijalankan oleh hukum adat, serta pengetahuan mengenai pentingnya
membuat akta perjanjian otentik, menjadikan gadai yang dilakukan atas dasar
sifat kepercayaan ini tidak memiliki kepastian hukum yang dapat merugikan pihak
yang lemah, biasanya pemilik tanah pertanian yang digadaikan.
Dapat dikatakan, dalam Hukum
Nasional telah ditentukan bahwa gadai tanah pertanian tidak boleh berlangsung
lebih 7 tahun satu bulan setelah 32 masa panen. Jika sebelum 7 tahun gadai
tanah pertanian tersebut ditebus, maka jumlah penebusannya dihitung berdasarkan
rumus yang pada akhirnya menujukan jumlah semakin lama tanah tersebut digadai
maka jumlah penebusannya akan semakin sedikit. Dalam gadai tanah pertanian juga
harus dibuat tertulis agar mendapat perlindungan hukum dari gugatan pihak
ketiga.
Kewajiban
kepala desa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya sehubungan dengan
gadai tanah pertanian, seharusnya dapat
menjadikan gadai tanah pertanian sebagai salah satu cara untuk
mewujudkan kesejahteraan di dalam masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan mengupayakan warganya untuk melaksanakan gadai sesuai dengan Hukum
Nasional yang berlaku. Dengan diindahkannya peraturan dalam praktik gadai tanah
pertanian, dapat menghindarkan gadai tersebut dari unsur pemerasan sehingga
kesejahteraan masyarakat dapat dicapai.
Peranan tersebut juga sudah selayaknya
dilakukan oleh Kepala Desa Kalilunjar untuk menyikapi masalah pelaksanaan gadai
tanah pertanian di Desa Kalilunjar yang cenderung menyimpang dari ketentuan
Hukum Nasional dan merugikan salah satu pihak. Namun, melihat kenyataan yang
ada sejauh ini kepala desa kurang berperan dalam pelaksanaan gadai tanah
pertanian di Desa Kalilunjar.
Menurut Kepala Urusan Pembangunan Desa
Kalilunjar, bahwa untuk sementara ini kepala desa atau pemerintah desa belum
melakukan upaya terkait masalah gadai tanah yang menyimpang dan merugikan salah
satu pihak (Prasurvei, 31 Oktober 2011).
6.
Saran
Selayaknya negara melalui alat-alat
kelengkapannya, seperti bupati, walikota, ataupun kepala desa memberikan
tambahan wawasan mengenai peraturan perundangan yang mengatur mengenai gadai
tanah pertanian, sehingga dapat memberikan informasi mengenai peraturan
perundangan tersebut tersebut kepada masyarakat yang secara pengetahuan
dimungkinkan tidak akan lebih mengerti mengenai kejadian-kejadian hukum semacam
gadai.
Negara melalui alat-alat pelengkapnya diharapkan dapat
memberikan sosialisasi kepada masyarakat pedesaan mengenai akibat yang timbul
dari tidak di laksanakannya peraturan perundangan yang mengatur mengenai gadai
tanah pertanian secara tepat dan bertahap serta, dapat menjalin kerja sama
dengan instansi pemerintah atau dari pihak akademisi dalam pemberian
sosialisasi di pedesaan mengenai peraturan perundangan gadai tanah pertanian.
Sedangkan, bagi masyarakat pedesaan diharapkan agar mau membuka wawasan
mengenai masalah hukum dan menambah pengetahuan mengenai peraturan perundangan
yang mengatur mengenai gadai tanah pertanian, sehingga masyarakat mempunyai
pengetahuan mengenai pelaksanaan gadai tanah pertanian yang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
[13] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51584b636a944/hak-privilege-dan-hak-retensi
,Diakses pada tanggal 29 oktober 2016.