Jumat, 07 April 2017

hukum jaminan : KEPASTIAN HUKUM GADAI TANAH PERTANIAN MASYARAKAT DESA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang dilalui oleh garis khatulistiwa, ini berarti Indonesia memiliki iklim yang tropis dengan struktur tanah yang cenderung subur. Kesuburan itulah menjadikan Indonesia sebagai negara agraris di mana penduduk negara Indonesia sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani, sehingga penduduk Indonesia sangat menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.
Sebagai negara yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian  petani,  tanah merupakan aset yang sangat menunjang  dalam kehidupan ekonominya. Tanah juga sangat menentukan bagi kelangsungan hidup rakyat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :  Bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan diperuntukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.        Seperti halnya aset lain, tanah juga dapat diperjualbelikan dan dijadikan obyek transaksi seperti, sewa tanah, bagi hasil dengan obyek tanah, jual tahunan, serta gadai tanah. Praktik transaksi yang berkaitan dengan tanah sangat sering kita jumpai di dalam masyarakat. Sebagian besar pelaku transaksi adalah petani. Salah satu transaksi tanah yang sering kita jumpai adalah gadai tanah.  Gadai tanah pertanian pada dasarnya adalah suatu transaksi tentang tanah yang dijadikan sebagai obyek dalam jaminan hutang piutang antara pemilik tanah atau yang menggadaikan dengan penerima gadai, dengan tujuan mendapatkan modal dengan tidak menjual tanah yang dijadikan obyek dalam gadai tanah pertanian tersebut, jadi gadai tanah pertanian itu memiliki hak tebus untuk mendapatkan tanah pertanian yang telah digadaikan kepada sipenerima gadai tanah peertanian tersebut.




Dikaitkan dengan Pancasila sebagai dasar filosofi bangsa Indonesia, maka akan ditemui hakekat mengenai gadai tanah pertanian yang didasarkan pada sila ke 5 Pancasila yang berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sila ini tersirat makna bahwa, seluruh rakyat indonesia berhak utuk mendapatkan keadilan sosial termasuk di dalamnya pelaksanaan gadai tanah pertanian yang dilakukan oleh masyarakat indonesia, selayaknya mengedepankan keadilan sosial, yang bertujuan untuk menjaga kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat, seluruh kekayaan alam dipergunakan bagi kebahagiaan bersama menurut potensi masing-masing, melindungi yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat bekerja sesuai dengan bidangnya. Pelaksanaan gadai tanah pertanian juga selayaknya mengedepankan rasa keadilan di dalamnya, untuk melindungi pihak dalam transaksi gadai agar menjauhkan praktek pemerasan dalam pelaksanaan transaksi gadai tanah pertanian, yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang mengedepankan keadilan dalam setiap perilaku bermasyarakatnya yang tentunya sesuai dengan Pancasila sebagai filosofi bangsa Indonesia.
Secara yuridis gadai tanah pertanian dimuat dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia khususnya pada Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat, yang selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria, namun hanya memuat pokok-pokok dan asas-asas saja, yang tujuannya untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum, karena memuat pokok-pokok dan asas-asas di bidang Agraria. Oleh sebab itu dibentuk dan disusun lagi peraturan pelaksanaan atau peraturan perundang-undangan lainnya. Salah satu peraturan yang dibentuk sebagai peraturan pelaksanaan adalah Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960, tentang penetapan luas tanah pertanian yang berisikan batas minimum dan batas maksimum seseorang dapat memiliki tanah pertanian, larangan pemilikan tanah guntai, pembatasan tentang pegang gadai, mengatur tentang bagi hasil. Adapun mengenai pegang gadai menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960 ditetapkan bahwa tanah-tanah yang sudah digadai selama 7 tahun (antara 5-10 tahun) atau lebih harus dikembalikan kepada si penggadai tanpa kewajiban membayar uang tebusan. Pada kenyataannya banyak gadai berlangsung bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun, bahkan ada pula yang dilanjutkan oleh para ahli waris si pemegang gadai, karena penggadai tidak mampu menebus tanahnya kembali
Secara sosiologis gadai tanah pertanian merupakan bagaimana pelaksanaan gadai tanah pertanian itu berlangsung atau terjadi didalam masyarakat, di Indonesia pelaksanaan gadai tanah pertanian dijalankan menggunakan hukum adat masing masing daerah, yang pada dasarnya pelaksanaan tersebut adalah suatu perjanjian yang mana mengunakan jaminan tanah pertanian dalam transaksi hutang piutang dilaksanakan berdasar pada hukum adat daerah masing masing. Intinya dalam pelaksanaan transaksi gadai tanah pertanian, pemilik tanah atau penggadai wajib untuk melakukan pelunasan terhadap hutangnya kepada pemegang gadai jika ingin tanah pertanianya kembali kepadanya.
A.    Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan pokok sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengaturan Hak Gadai Tanah Pertanian pada masyarakat pedesaan setelah berlakunya UUPA?
2.      Bagaimana kepastian hukum dari perjanjian gadai yang dilakukan di Masyarakat desa?
3.      Bagaimana peran Kepala Desa dalam kegiatan gadai tanah pertanian.
4.      Bagaimanakah penyelesaian Hak Gadai Tanah Pertanian menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku?
B.     Tujuan
Tujuan yang ingin di capai dalam Makalah ini di antaranya sebagai berikut.
1.      Untuk mengetahui pengaturan mengenai Hak Gadai tanah pada masyarakat adat atau pedesaan.
2.      Untuk mengetahui kepastian hukum dari perjanjian gadai yang dilakukan di Masyarakat desa.
3.      Untuk mendeskripsikan alasan Masyarakat masih melaksanakan atau tidak gadai tanah pertanian, meskipun cenderung merugikan pihak penjual gadai.
4.      Untuk mendeskripsikan alasan kurang berperannya kepala desa  terhadap adanya
5.      pelaksanaan gadai tanah pertanian.karena tidak adanya alasan perjanjian tertulis.









C.    Manfaat
1.      Secara teoritis
a.       Hasil Makalah ini di harapkan menambah keilmuan,serta dapat memberikan kegunaan untuk mengembangkan ilmu hukum khususnya dalam hukum adat
b.      Hasil Makalah ini di harapkan dapat menjadikan referensi untuk yang lainnya
2.      Secara praktis
a.       Bagi masyarakat pada umumnya dan masyarakat desa pada khususnya dapat di jadikan acuan dalam melaksanakan gadai tanah pertanian sesuai dengan peraturan yang berlaku,sehingga hak-hak pembeli gadai dan penjual gadai dalam pelaksanaan gadai tanah pertanian dapat terjamin
b.                  Dengan adanya makalah ini dapat memahami pemahaman masyarakat desa terhadap Hukum Adat dan Hukum Nasional mengenai ketentuan gadai tanah pertanian.

BAB III
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Gadai
Gadai sebagai suatu hak yang mendahulu dari seseorang kreditor untuk memperoleh pelunasan piutangnya dapat dibaca dalam rumusan Pasal 1133 dan Pasal 1134 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menyatakan:
Pasal 1133
Hak untuk didahulukan diantara para kreditor terbit dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotek.
Tentang gadai dan hipotek diatur dalam Bab XX dan Bab XXI buku ini.
Pasal 1134
Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana olehUndang-Undang ditentukan sebaliknya.
Gadai adalah suatu hak kebendaan yang bersifat assessoir yang diberikan oleh pihak pemberi gadai  (debitor) kepada pemegang gadai (kreditor) sebagai jaminan atas pembayaran utang.[1] Pengertian dari gadai sendiri di atur dalam Pasal 1150 KUHPerdata, yang merumuskannya sebagai berikut: “Gadai adalah Suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan”. Dari rumusan yang diberikan tersebut dapat diketahui bahwa untuk dapat disebut gadai, maka unsur-unsur berikut dibawah ini harus dipenuhi:[2]
1.      Gadai diberikan hanya atas benda bergerak;
2.      Gadai harus dikeluarkan dari penguasa Pemberi Gadai;
3.      Gadai memberikan hak kepada kreditor untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas piutang kreditor (droit de preference);
4.      Gadai memberikan kewenangan kepada kreditor untuk mengambil sendiri pelunasan secara mendahulu tersebut.
Kewenangan kreditur adalah kewenangan untuk melakukan pelelangan terhadap barang debitur. Penyebab timbulnya pelelangan ini adalah karena debitur tidak melaksanakan prestasinya sesuai dengan isi kesepakatan yang dibuat antara kreditur dan debitur, walaupun debitur telah diberikan somasi oleh kreditur.[3]
B.     Sejarah Umum
      Sejarah Pegadaian dimulai pada saat Pemerintah Penjajahan Belanda (VOC) mendirikan Bank Van Leening, yaitu lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan system gadai. Lembaga ini pertama kali didirikan di Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746.
Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan Indonesia dari tangan Belanda (1811), Bank Van Leening dibubarkan, dan kepada masyarakat di beri keleluasaan untuk mendirikan usaha Pegadaian dengan mendapat lisensi dari pemerintah di daerah setempat. Metode ini dikenal dengan liecentiestelsel. Dalam perjalanannya, metode tersebut banyak menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat. Banyak pemegang lisensi menjalankan praktek rentenir atau lintah darat yang tidak saja membebani masyarakat, tapi juga di pandang kurang menguntungkan bagi pemerintah berkuasa. Sehingga akhirnya metode liecentiestelsel diubah menjadi metode pacthstelsel, yaitu pendirian Pegadaian diberikan kepada umum yang mampu membayarkan pajak yang tinggi kepada pemerintah.
Pada saat Belanda berkuasa kembali, metode pacthstelsel tetap dipertahankan. Namun menimbulkan dampak yang sama, di mana pemegang hak ternyata banyak melakukan penyelewengan dalam menjalankan bisnisnya. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda menerapkan metode baru yang disebut dengan cultuurstelsel, di mana kegiatan Pegadaian ditangani sendiri oleh pemerintah agar dapat memberikan perlindungan dan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad (Stbl) No. 131 tanggal 12 Maret 1901 yang mengatur bahwa usaha Pegadaian merupakan monopoli Pemerintah dan tanggal 1 April 1901 didirikan Pegadaian Negara pertama di Sukabumi (Jawa Barat). Selanjutnya setiap tanggal 1 April di peringati sebagai Hari Ulang Tahun Pegadaian.
Pada masa pendudukan Jepang, Gedung Kantor Pusat Jawatan Pegadaian yang terletak di Jalan Kramat Raya 162 di jadikan tempat tawanan perang dan Kantor Pusat Jawatan Pegadaian di pindahkan ke Jalan Kramat Raya 132. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada masa pemerintahan Jepang, baik dari sisi kebijakan maupun Struktur Organisasi Jawatan Pegadaian. Jawatan Pegadaian dalam Bahasa Jepang disebut Sitji Eigeikyuku, Pimpinan Jawatan Pegadaian di pegang oleh orang Jepang yang bernama Ohno-San dengan wakilnya orang pribumi yang bernama M. Saubari.
Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia, Kantor Jawatan Pegadaian sempat pindah ke Karang Anyar (Kebumen) karena situasi perang yang kian terus memanas. Agresi militer Belanda yang kedua memaksa Kantor Jawatan Pegadaian di pindah lagi ke Magelang. Selanjutnya, pasca perang kemerdekaan Kantor Jawatan Pegadaian kembali lagi ke Jakarta dan Pegadaian kembali di kelola oleh Pemerintah Republik Indonesia.[4]
Dalam masa ini Pegadaian sudah beberapa kali berubah status, yaitu sebagai Perusahaan Negara (PN) sejak 1 Januari 1961, kemudian berdasarkan PP.No.7/1969 menjadi Perusahaan Jawatan (PERJAN), selanjutnya berdasarkan PP.No.10/1990 (yang di perbaharui dengan PP.No.103/2000) berubah lagi menjadi Perusahaan Umum (PERUM). Hingga pada tahun 2011, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2011 tanggal 13 Desember 2011, bentuk badan hukum Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).

a.                   Subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai. Pendgever yaitu orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Unsur-unsur pemberi gadai, yaitu:[5]
1.      Orang atau badan hukum;
2.      Memberikan jaminan berupa benda bergerak gadai;
3.      Kepada penerima gadai;
4.      Adanya pinjaman uang.
Penerima gadai (pandnemer) adalah orang atau badan hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya kepada penerima gadai (pandnemer). Di Indonesia, badan hukum yang ditunjuk untuk mengelola lembaga gadai adalah perusahaan pegadaian. Perusahaan ini didirikan berdasarkan:[6]
1.      PP Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian;
2.      PP Nomor 10 Tahun 1970 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian; dan
3.      PP Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.
Sifat usaha dari perusahaan pegadaian ini adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
b.                  Objek Gadai ini adalah benda bergerak. Benda bergerah ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:[7]
1.      Benda bergerak berwujud, adalah benda yang dapat berpindah atau dipindahkan. Contoh: Kendaraan seperti mobil, sepeda motor; Perhiasan seperti mas, berlian, mutiara, intan, perak, dan lain-lain; Mesin-mesin seperti mesin jahit, mesin pembajak sawah, mesin disel/pembangkit listrik, pompa air dan segala jenis.
2.      Benda bergerak yang tidak berwujud.
Contohnya: surat-surat berharga seperti, Tabungan; Deposito berjangka; Sertifikat deposito; Wesel; Promes; Konosemen; Obligasi; Saham-saham.

D.     Kedudukan dan Kepastian Hukum Suatu Perjanjian dalam Kegiatan Gadai
Kedudukan dan Kepastian Hukum Gadai dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan berikut ini.
1.      Pasal 1150 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1160 Buku II KUH Perdata;
2.      Artikel 1196 vv, title 19 Buku III NBW;
3.      Peraturan Pemerintar Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian;
4.      PP Nomor 10 Tahun 1970 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian; dan
5.      PP Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.
Gadai Tanah Pertanian di atur dalam Undang-Undang Nomer 56 tahun 1960, Gadai tanah ini bukan dikonstruksikan sebagai perjanjian tambahan, tetapi merupakan perjanjian yang berdiri sendiri dimana yang jadi objeknya adalah tanah. Kalau sifatnya sebagai jaminan maka ketika perjanjian pokok terjadi wan prestasi, maka barang gadai tidak akan dilakukan pelelangan.[8]
E.      Gadai Tanah Pertanian
a.       Pengertian gadai tanah pertanian
Gadai tanah merupakan  penyerahan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali (Imam Sudiyat, 1978: 32). Berbeda dengan pendapat Van Volenhovenyang dikutip oleh Ter Haar (1994: 89), bahwa gadai tanah merupakan perjanjian atau transaksi yang menyebabkan tanah pemilik diserahkan untuk menerima sejumlah uang tunai, dengan kesepakatan bahwa pemilik tanah akan dan berhak mengembalikan tanah tersebut, dengan membayar uang yang sama. 
Dari kedua pengertian di atas, dapat diambil benang merah bahwa gadai tanah merupakan suatu perjanjian antara penjual gadai dan pembeli gadai untuk menguasai tanah dalam jangka waktu tertentu. Adapun  gadai tanah pertanian sendiri merupaka penyerahan tanah pertanian dengan pembayaran uang secara tunai untuk menguasai tanah dalam jangka waktu tertentu. Penyerahan ini dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak penjual gadai dan pihak pembeli gadai.

b.      Pelaksanaan gadai tanah pertanian
Pada pelaksanaan gadai tanah pertanian yang menjadi obyek bukanlah tenaga kerja atau tanaman, melainkan tanah. Karena obyek tersebut adalah tanah, maka harus dilakukan dengan sepengetahuan kepala persekutuan atau kepala desa. Hal ini agar mendapatkan kepastian hukum yang lebih kuat. Sejalan dengan pendapat Effendi Perangin (1991: 307), bahwa gadai menggadai biasanya dilakukan di muka kepala desa atau kepala adat. Kehadiran pejabat tersebut umumnya bukan merupakan syarat bagi sahnya gadai menggadai,  melainkan untuk memperkuat kedudukannya, sehingga dapat  mengurangi risiko pemegang gadai jika kemudian hari ada sanggahan. Gadai menggadai yang tidak dibuatkan akta atau bukti yang tertulis akan menimbulkan kesulitan bagi penjual gadai atau pemilik tanah, jika pada jangka waktu tanahnya akan ditebus, pembeli gadai menolaknya dengan alasan yang mereka lakukan bukanlah gadai menggadai merupakan jual lepas. Telebih jika sipenjual gadai dan pemegang gadai sendiri sudah meninggal dunia dan hubungan gadai diteruskan ahli warisnya. Dalam hal ini keterangan saksi merupakan alat pembuktian yang penting. 
Transaksi tanah dengan sepengetahuan kepala persekutuan hukum juga harus dibuat dengan dengan akta agar menjadi terang (Ter Haar, 1974: 65). Mengenai akta  yang dimaksud dalam gadai tanah, tidak sama dengan yang dimaksud sekarang ini (akta otentik) karena yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dengan bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang. Akta yang dimaksud dalam gadai tanah pertanian adalah akta bawah tangan yang tidak memerlukan tanda tangan pejabat umum yang berwenang (notaris) hanya cukup dengan tanda tangan pemerintah setempat, serta memerlukan pengakuan dari pihak yang berkepentingan agar mempunyai kekuatan pembuktian.
Setelah perjanjian gadai tanah pertanian dilaksanakan, pembeli gadai tidak dapat menuntut penjual gadai untuk menebus, jika pembeli gadai membutuhkan uang maka pembeli gadai dapat mengoperkan gadai dan menggadaikan kembali. Pembeli gadai dapat mengoperkan tanah gadainya kepada pihak ketiga dengan seizin dan sepengetahuan penjual gadai sehingga terjadi pergantian subjek dalam perjanjian yang sama. Dalam pengoperan gadai hubungan hukum antara penjual gadai dengan pembeli gadai semula berubah menjadi hubungan hukum antara penjual gadai dan pihak ketiga.[9] Pembeli gadai juga dapat menggadaikan tanah tersebut tanpa sepengetahuan dan seizin penjual gadai.
Menurut Imam Sudiyat (1978: 34), menggadaikan kembali dilakukan dengan ketentuan, sewaktu-waktu pembeli gadai dapat menebus tanah itu dari pihak ketiga, sehingga terjadi dua perutangan yaitu antara penjual gadai semula dengan pembeli gadai semula secara terang-terangan dan perutangan antara pembeli semula yang menjadi pembeli gadai baru tanpa diketahuai penjual gadai (sembunyi-sembunyi).
Jadi  dalam pelaksanaan gadai tanah pertanian, meskipun pembeli gadai membutuhkan uang, pembeli gadai tidak boleh memaksa penjual gadai untuk menebus tanah tersebut. Dalam hal ini pembeli gadai dapat mengoperkan gadai atau menggadaikan kembali tanah pertanian tersebut kepada orang lain.

c.       Jangka waktu gadai tanah pertanian
Lama waktu hak gadai dapat dimiliki dan tanah dapat dikuasai ditentukan dalam dalam Pasal 7 UU No. 56 Prp. Tahun 1960. Jangka waktu gadai tanah paling lama 7 tahun, jika hak gadai tanah pertanian itu sudah berlangsung selama 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanahnya kepada penggadai tanpa adanya uang tebusan dalam waktu satu bulan setelah tanaman yang ada dipanen sejak perjanjian itu dilaksanakan.
Eddy Ruchiyat (1983: 70), menyebutkan bahwa hubungan gadai yang jangka waktunya tidak ditentukan, dilakukan dengan perjanjian dan selama jangka waktu tertentu tidak boleh dilakukan penebusan. Hal ini berarti perjanjian seperti demikian memberi kesempatan kepada pembeli gadai  untuk  mengerjakan tanah tersebut secara maksimal sesuai dengan waktu yang telah disepakati, namun tidak boleh melebihi 7 tahun. Bisa juga diadakan perjanjian gadai tanah pertanian tanpa ada batasan waktu, namun penjual gadai tetap melakukan penebusan jika ia ingin kembali menguasai tanahnya sebelum waktu 7 tahun. Setelah waktu 7 tahun barulah penjual gadai dapat menguasai kembali tanah tersebut tanpa harus melakukan penebusan. Dengan penyerahan gadai tanah pertanian dilakukan setelah dilakukan penebusan atau setelah tujuh tahun gadai itu berlangsung.
Sebelum gadai berakhir pembeli gadai dapat saja menambahkan uang gadainya. Menurut Effendi Perangin (1986: 304) berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 20 1963, sebelum gadai berakhir kemudian pemegang gadai menambahkan uang gadainya, baik bentuk uang atau bentuk lainnya, dalam penambahan itu harus dilakukan secara tertulis dengan melalui cara yang lazim seperti pada waktu gadai tersebut dilakukan. Jika penambahan gadai tersebut dilakukan secara tertulis,  timbul gadai baru dengan jumlah uang yang baru pula. Sebaliknya apabila penambahan uang gadai tidak dilakukan secara tertulis, maka tidak menimbulkan gadai baru.
Jadi dalam gadai tanah pertanian dapat dimungkinkan terjadi penambahan uang gadai tanah pertanian. Penambahan tersebut dapat dilakukuan secara tertulis maupun tidak tertulis. Penambahan uang gadai yang dilakukan secara tertulis akan menimbulkan perjanjian baru yang waktunya ditung ketika penambahan uang tersebun, namun apabila tidak dilakukan dengan tertulis maka tidak akan menimbulkan gadai baru. 

d.      Hapusnya hak gadai tanah pertanian
Seperti halnya hak tanah lainnya, hak gadai dapat juga hapus. Maksud dari hapusnya hak gadai bahwa pemebeli gadai sudah tidak lagi memiliki hak tanah yang sebelumnya dikuasai dengan hak gadai. Menurut Effendi Perangin hak gadai dapat hapus disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:[10]
1.      Telah dilakukan penebusan oleh sipemberi gadai;
2.      Sudah berlangsung 7 tahun bagi gadai tanah pertanian, tambak dan tanaman keras;
3.      Putusan pengadilan dalam rangka menyelesaikan gadai dengan “milik-beding”;
4.      Dicabut untuk kepentingan umum; dan
5.      Tanahnya musnah.
Jadi dapat dikatakan bahwa penebusan bukan satu-satunya penyebab hak gadai itu hapus. Hak gadai juga dapat hapus apabila tanahnya musnah karena bencana alam, seperti banjir atau longsor yang menyebabkan tanah tersebut hilang atau musnah. Hapusnya hak gadai karena bencana bisa saja terjadi, karena menginggat Indonesia sendiri merupakan wilayah yang rawan bencana alam.

F.      Transaksi Tanah Dalam Hukum Adat
Sifat umum Hukum Adat Indonesia menjadikan dasar suatu ciri dari kedudukan tanah dalam masyarakat adat dan transaksi tanah dalam Hukum Adat. Pada sifat religio magis disesebutkan bahwa tanah merupakan tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur persekutuan (Surojo Wignjodiputro, 1968: 197). Pada corak komunal, menurut Imam Sudiyat (1981:37), tanah merupakan gantungan hidup dari suatu masyarakat yang masih hidup terpencil, masayakat yang semacam itulah yang masih mempunyai sifat lebih mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, sedangkan untuk sifat kontan mengandung perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau pengucapan perbuatan hukum yang dimaksud telah selesai ketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala  perbuatan atau mengucapkan yang diharuskan oleh hukum adat (Imam Sudiyat, 1981: 37). Jual beli tanah pada masyarakat adat juga bersifat kontan, karena pembayaran  dan penyerahan tanah terjadi secara bersamaan. Menurut Imam Sudiyat (1981: 38), sifat konkrit dalam transaksi tanah terlihat pada adanya panjer sebagai simbol visual dari adanya transaksi jual beli atau pemindahan hak atas tanah yang akan dilakukan. Jadi empat unsur dari ciri Hukum Adat Indonesia juga dapat ditemui pada kedudukan tanah dalam masyarakat adat dan transaksi tanah dalam Hukum Adat.
Pada transaksi tanah, dalam hukum adat dikenal dua perjanjian tanah. Perjanjian tanah terbagi menjadi perjanjian tanah yang bersegi satu dan bersegi dua. Menurut Surojo Wignjodiputro (1968: 206), perjanjian hukum yang bersegi satu seperti pertama pendirian pada suatu desa oleh sekelompok orang yang mendiami tempat tertentu sehingga timbul hubungan-hubungan hukum yang bersifat religio magis antara desa dengan tanah tersebut sehingga tumbuh hak atas tanah tersebut. Berbeda dengan perbuatan hukum dua pihak (bersegi dua) menurut Bushar Muhamad (1988: 112), inti dari transaksi perjanjian tanah yang bersegi dua atau bersifat perbuatan hukum dua pihak adalah, pengoperan ataupun penyederhanaan dengan disertai pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu. Dalam istilah bahasa Indonesia disebut sebagai menjual, sedangkan dalam bahasa jawa adol, sade. Menurut isinya jual ini dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
1.      penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai dengan ketentuan bahwa yang menyerahkan tanah dapat memiliki kembali tanah tersebut dengan pembayaran sejumlah uang;
2.      pembayaran tanah dengan kontan tanpa syarat, jadi untuk seterusnya atau selamaya. Disebut adol, pasti (Bogor), run tumurun (Jawa), menjual jada (Kalimantan), menjual lepas (Riau dan Jambi);
3.      penyerahan tanah dengan pembayaran kontan dengan disertai perjanjian bahwa apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain, sesudah satu dua tahun atau beberapa kali panen, tanah itu kembali lagi kepada pemilik semula disebut menjual tahunan, adol oyodan (Jawa).[11]
Transaksi tanah tersebut supaya mendapatkan perlindungan hukum seharusnya dibuat secara tertulis dan transaksi disaksikan oleh kepala persekutuan. Menurut Surojo Wignjodiputro (1968: 207), dengan adanya transaksi yang dilakukan di depan ketua adat, dapat menjadikan transaksi tersebut menjadi terang atau tidak gelap. Untuk bantuan ini kepala persekutuan atau kepala adat lazimnya menerima uang  saksi atau pagopago (Batak). Hal senada juga dijelaskan oleh Imam Sudiyat (1978: 33) bahwa transaksi yang dilakukan dengan bantuan hukum atau kesaksian dari kepala persekutuan hukum akan menjadi terang, terjamin atau terlindungi oleh hukum, teruatama terhadap adanya gugatan dari pihak ketiga. 
Dalam transaksi tanah, kesaksian dari kepala adat atau kepala persekutuan hukum mempunyai kedudukan penting dalam rangka mendapatkan perlindungan hukum terhadap gugatan dari pihak ketiga. Meskipun sebenarnya kesaksian dari kepala adat bukan syarat sahnya perjanjian.
G.     Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai
Setelah dilakukan perjanjian gadai tanah, maka terdapat hak dan kewajiban yang masing-masing dimiliki oleh pemberi gadai dan penerima gadai. Hak dan kewajiban pemberi gadai yaitu:[12]
a.       Setelah menerima uang gadai, maka segera tanah yang digadaikan itu diserahkan kepada pihak yang memberi uang atau disebut dengan pemegang gadai.
b.      Pemberi gadai dapat sewaktu-waktu menebus tanahnya dengan syarat pemegang gadai sudah memetik hasilnya (panen) paling sedikit satu kali.
c.       Jika tanah yang digadaikan musnah, pemberi gadai tidak dapat dituntut untuk mengembalikan uang gadai yang telah diterima.
d.      Jika ada perbedaan nilai uang pada waktu menggadai dan menebus, maka harus menanggung resiko bersama-sama dengan pemegang gadai.

Sedangkan hak dan kewajiban penerima gadai yaitu:
a.       Setelah membayar uang gadai, maka pemegang gada menguasai tanah gadai tersebut, untuk dipelihara dan berhak pula menggunakan serta memungut hasilnya.
b.      Apabila sewaktu-waktu pemegang gadai ini membutuhkan uang, maka berhak melakukan pendalaman gadai dengan seijin pemilik tanah atau menganakkan gadai.
c.       Jika tanah gadai tersebut musnah karena bencana alam, maka pemegang gadai tidak boleh menuntut kembali uang gadainya.
d.      Wajib mengembalikan tanah gadai setelah dikuasai selama 7 tahun.
e.       Perjanjian gadai yang disertai perjanjian bahwa dalam waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak menebus kembali tanahnya, maka dengan perantara Pengadilan Negeri barulah pemegang gadai ini dapat memiliki tanah gadai tersebut sesuai dengan perjanjian. Kalau perlu dengan menambah uang sesuai dengan harga tanah jika dijual lepas.

H.     Hak Retentie Pemegang Gadai
Hakretensi (retentie) menurut J. Satrio, menjelaskan bahwa hak retensi adalah hak yang diberikan kepada kreditur tertentu, untuk menahan benda debitur, sampai tagihan yang berhubungan dengan benda tersebut dilunasi, sebagaimana terdapat dalam Pasal 575 ayat (2), Pasal 1576, Pasal 1364 ayat (2), Pasal 1616, Pasal 1729, danPasal 1812 KUHPer.
Pasal 575 ayat (2) KUHPer

Selanjutnya ia berhak menuntut kembali segala biaya yang telah harus dikeluarkan guna menyelamatkan dan demi kepentingan barang tersebut, demikian pula ía berhak menguasai barang yang diminta kembali itu selama ia belum mendapat penggantian biaya dan pengeluaran tersebut dalam pasal ini.
                                                                                         
Pasal 1576 KUHPer

Dengan dijualnya barang yang disewa, sewa yang dibuat sebelumnya tidak diputuskan kecuali bila telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang. Jika ada suatu perjanjian demikian, penyewa tidak berhak menuntut ganti rugi bila tidak ada suatu perjanjian yang tegas, tetapi jika ada perjanjian demikian, maka ia tidak wajib mengosongkan barang yang disewa selama ganti rugi yang terutang belum dilunasi.

Pasal 1364 ayat (2) KUHPer
Orang yang menguasai barang itu berhak memegangnya dalam penguasaannya hingga pengeluaran-pengeluaran tersebut diganti.

Pasal 1616 KUHPer

Para buruh yang memegang suatu barang milik orang lain untuk mengerjakan sesuatu pada barang itu, berhak menahan barang itu sampai upah dan biaya untuk itu dilunasi, kecuali bila untuk upah dan biaya buruh tersebut pemberi tugas itu telah menyediakan tanggungan secukupnya.
Pasal 1729 KUHPer

Penerima titipan berhak menahan barang titipan selama belum diganti semua ongkos kerugian yang wajib dibayar kepadanya karena penitipan itu.

Pasal 1812 KUHPer

Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberikuasa yang berada di tangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa.

Lebih lanjut, J. Satrio mengatakan bahwa hak retensi/menahan tersebut memberikan tekanan kepada debitur agar segera melunasi utangnya. Kreditur dengan hak retensi sangat diuntungkan dalam penagihan piutangnya. Hak retensi berbeda dengan hak-hak jaminan kebendaan yang lain, karena ia tidak diperikatkan secara khusus, tidak diperjanjikan, dan bukan diberikan oleh undang-undang dengan maksud untuk mengambil pelunasan lebih dahulu dari “hasil penjualan” benda-benda debitur, tetapi sifat jaminan di sana muncul demi hukum, karena ciri/sifat dari pada lembaga hukum itusendiri. Namun demikian, ia tetap bukan merupakan privilege, karena privilege ditentukan sebagai demikian oleh undang-undang.[13]
I.        Hapusnya Gadai Pertanian
Seperti halnya hak tanah lainnya, hak gadai dapat juga dihapus. Maksud dari hapusnya hak gadai bahwa pembeli gadai sudah tidak lagi memiliki hak tanah yang sebelumnya dikuasai dengan hak gadai. Menurut Effendi Perangin hak gadai dapat hapus disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:[14]
1.      Telah dilakukan penebusan oleh sipemberi gadai;
2.      Sudah berlangsung 7 tahun bagi gadai tanah pertanian, tambak dan tanaman keras;
3.      Putusan pengadilan dalam rangka menyelesaikan gadai dengan “milik-beding”;
4.      Dicabut untuk kepentingan umum; dan
5.      Tanahnya musnah.

Jadi dapat dikatakan bahwa penebusan bukan satu-satunya penyebab hak gadai itu hapus. Hak gadai juga dapat apabila tanahnya musnah karena bencana alam, sperti banjir atau longsor yang menyebabkan tanah tersebut hilang atau musnah. Hapusnya hak gadai karena bencana bisa saja terjadi, karena mengingat Indonesia sendiri merupakan wilayah yang rawan bencana alam.
J.       Peran Kepala Desa dalam Pelaksanaan Gadai Pertanian
Kepala desa merupakan ujung tombak dari pemerintahan desa, maju tidaknya suatu desa tergantung pada pemerintahan dari kepala desa, meskipun kepemimpinan atau pemerintahan dari kepala desa bukanlah satu-satunya indikator dalam maju tidaknya suatu desa. Dalam melaksanakan pemerintahnnya, kepala desa berkewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 mengenai Desa.

Mengenai sosialisasi undang-undang gadai tanah pertanian bukanlah kewenangan kepala desa. Dalam menyampaikan informasi ataupun sosialisasi mengenai undang-undang yang mengatur gadai tanah pertanian adalah kewenangan dari lembaga pegadaian ataupun pihak lain. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa selama ini kepala desa berpandangan bahwa gadai tanah pertanian sama dengan gadai-gadai yang dilakukandi lembaga pegadaian, sehingga kepala desa beranggapan bahwa pemberian sosialisasi ketentuan gadai tanah pertanian merupakan kewenangan dari pihak lembaga pegadaian yang disebutnya dengan istilah dinas pegadaian. Dalam hal sosialisasi undang-undang mengenai gadai tanah pertanian kepala desa seyogyanya tidak menyerahkan kepada instansi atau lembaga lain begitu saja, karena kepala desa juga bertugas untuk menyampaikan sosialisasi tersebut kepada masyarakat dan menjadikan gadai tanah pertanian sebagai lembaga yang dapat melindungi masyarakatnya dari unsur pemerasan, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.

BAB IV
PENUTUP
5.      Kesimpulan
Permasalahan-permasalahan yang terjadi pada praktik gadai tanah pertanian masyarakat pedesaan dikarenakan tidak adanya kepastian hukum atas perjanjian gadai yang dibuat di antara kedua belah pihak yang bersepakat. Praktek gadai yang umumnya dilakukan oleh masyarakat pedesaan cenderung mengeksploitasi, dikarenakan tidak adanya ketentuan mengenai pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan dalam hukum adat, sehingga jika pemilik tanah tidak dapat menebus tanahnya, tanah tetap dikuasai oleh pemegang gadai yang intinya lebih menguntungkan pihak pembeli gadai. Gadai yang terjadi di lingkungan masyarakat pedesaan hanya didasari rasa kekeluargaan dan kepercayaan semata.
Kurangnya pemahaman akan batasan-batasan yang berlaku bagi pembeli gadai tanah pertanian, jangka waktu berlakunya tanah gadai, ketentuan-ketentuan hukum positif yang berlaku di samping apa yang umumnya dijalankan oleh hukum adat, serta pengetahuan mengenai pentingnya membuat akta perjanjian otentik, menjadikan gadai yang dilakukan atas dasar sifat kepercayaan ini tidak memiliki kepastian hukum yang dapat merugikan pihak yang lemah, biasanya pemilik tanah pertanian yang digadaikan.
Dapat dikatakan, dalam Hukum Nasional telah ditentukan bahwa gadai tanah pertanian tidak boleh berlangsung lebih 7 tahun satu bulan setelah 32 masa panen. Jika sebelum 7 tahun gadai tanah pertanian tersebut ditebus, maka jumlah penebusannya dihitung berdasarkan rumus yang pada akhirnya menujukan jumlah semakin lama tanah tersebut digadai maka jumlah penebusannya akan semakin sedikit. Dalam gadai tanah pertanian juga harus dibuat tertulis agar mendapat perlindungan hukum dari gugatan pihak ketiga.
Kewajiban kepala desa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya sehubungan dengan gadai tanah pertanian, seharusnya dapat  menjadikan gadai tanah pertanian sebagai salah satu cara untuk mewujudkan kesejahteraan di dalam masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengupayakan warganya untuk melaksanakan gadai sesuai dengan Hukum Nasional yang berlaku. Dengan diindahkannya peraturan dalam praktik gadai tanah pertanian, dapat menghindarkan gadai tersebut dari unsur pemerasan sehingga kesejahteraan masyarakat dapat dicapai.
Peranan tersebut juga sudah selayaknya dilakukan oleh Kepala Desa Kalilunjar untuk menyikapi masalah pelaksanaan gadai tanah pertanian di Desa Kalilunjar yang cenderung menyimpang dari ketentuan Hukum Nasional dan merugikan salah satu pihak. Namun, melihat kenyataan yang ada sejauh ini kepala desa kurang berperan dalam pelaksanaan gadai tanah pertanian di Desa Kalilunjar.
Menurut Kepala Urusan Pembangunan Desa Kalilunjar, bahwa untuk sementara ini kepala desa atau pemerintah desa belum melakukan upaya terkait masalah gadai tanah yang menyimpang dan merugikan salah satu pihak (Prasurvei, 31 Oktober 2011).
6.      Saran
Selayaknya negara melalui alat-alat kelengkapannya, seperti bupati, walikota, ataupun kepala desa memberikan tambahan wawasan mengenai peraturan perundangan yang mengatur mengenai gadai tanah pertanian, sehingga dapat memberikan informasi mengenai peraturan perundangan tersebut tersebut kepada masyarakat yang secara pengetahuan dimungkinkan tidak akan lebih mengerti mengenai kejadian-kejadian hukum semacam gadai.
Negara melalui alat-alat pelengkapnya diharapkan dapat memberikan sosialisasi kepada masyarakat pedesaan mengenai akibat yang timbul dari tidak di laksanakannya peraturan perundangan yang mengatur mengenai gadai tanah pertanian secara tepat dan bertahap serta, dapat menjalin kerja sama dengan instansi pemerintah atau dari pihak akademisi dalam pemberian sosialisasi di pedesaan mengenai peraturan perundangan gadai tanah pertanian. Sedangkan, bagi masyarakat pedesaan diharapkan agar mau membuka wawasan mengenai masalah hukum dan menambah pengetahuan mengenai peraturan perundangan yang mengatur mengenai gadai tanah pertanian, sehingga masyarakat mempunyai pengetahuan mengenai pelaksanaan gadai tanah pertanian yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


[1]                      Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, hal.152
[2]                      Kartini Muljadi-Gunawan Widjaja, Hak Istimewa, Gadai, Dan Hipotek, hal.74
[3]                      H.Salim HS, S.H, M.S., Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, hal.35
[4]                      http://bumn.go.id/pegadaian/halaman/41/tentang-perusahaan.html,Di akses pada 29 oktober 2016.
[5]                      http://shptri.blogspot.com/2010/11/obyek-obyek-gadai.html?m=1 ,Diakses pada 9 oktober 2016.
[6]                      H.Salim HS, S.H, M.S., Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, hal.36
[7]                      H.Salim HS, S.H, M.S., Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, hal.37-38
[8]                      http://unjalu.blogspot.co.id/2011/03/hukum-jaminan.html ,Diakses pada tanggal 29 oktober 2016.
[9]                      Imam Sudiyat, 1978: 34
[10]                    Effendi Perangin, 1979: 111
[11]                    Bushar Muhamad, 1988 : 113
[12]                    Liliek Istiqomah, hal.92-93
[13]                    http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51584b636a944/hak-privilege-dan-hak-retensi ,Diakses pada tanggal 29 oktober 2016.
[14]                    Effendi Perangin, 1979 : 111

hukum jaminan : KEPASTIAN HUKUM GADAI TANAH PERTANIAN MASYARAKAT DESA

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dilalui oleh garis khatulistiwa, i...