BAB
I
PEDAHULUAN
- Latar Belakang
Dalam
hukum Islam hadist merupakan salah satu dari sumber hukum yang di gunakan
sebagai referensi bagaimana cara untuk mengidentifikasikan sebuah kasus atau
pelanggaran hukum dalam Islam baik untuk mengetahui syarat terjadinya sebuah
pelanggaran ataupun akibat hukum/sanksi dari pelanggaran tersebut. Di dalam
makalah ini kami akan membahas hadist tentang Al-jinayat, Al-diyat, dan Dawa al
dam wa Al-qasamat bukan hanya sekedar membahas tetapi kami juga akan
mengidentifikasikan hadist- hadist tersebut untuk dapat di kaji lebih dalam
lagi, sehingga tidak akan muncul keraguan dan ketidak tahuan tentang hadist
tersebut. Di karenakan di zaman semodern ini terutama remaja Islam melihat
hadist hanya sekedar di baca saja tidak di tela’ah lebih dalam. Oleh karena itu
seperti yang sudah kami katakana tujuan dari makalah ini yakni
untukmenghilangkan keraguan dan ketidak tahuan hadist terutama tentang
Al-jinayat, Al-diyat, dan Dawa al dam wa Al-qasamat.
- Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
disampaikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan sebuah masalah yakni:
1. Apa
arti dari jinayah, diyat dan qasamah
2. Apa
saja hadist tentang al jianayah, diyat dan qasamah
3. Bagaimana
identifikasi tentang hadist al jinayah, diyat dan qasamah
- Tujuan
1. Mengetahui
arti dari al jianayah, diyat dan qasamah
2. Mengetahui
apa saja hadist tentang al jianayah, diyat dan qasamah
3. Mengatauhi
cara mengidentifikasi hadist tentang al jianayah, diyat dan qasamah
PEMBAHASAN
2.1.Jinayah
Secara etimologis Jinayah berasal dari kata –yajnii –jana –jinnya jinnayatu yang
berarti idzanbi (berbuat dosa)
tannawalu jana yajni (menggapai atau
memetik dan mengumpulkan).[1] Jinayat bentuk jamak dari Jinayah, diambil dari kata jana-yajni,artinya mengambil. Misalnya
di katakan: jana ats-tsimar
(mengambil buah), jika dia memetik buah dari pohon. Dikatakan juga, jana ‘alaqatimihi janayatan. Maksudnya
melakukan tindak kejahatan yang diketahui sanksi hukum.[2]
Menurut terminologi Jinayyah adalah setiapa perbuatan yang
dilarang. Perbuatan yang dilarang adalah setiap perbuatan yang dicegah dan
ditolak oleh syariat, lantaran mengandung bahaya terhadap agama, jiwa, akal,
kehormatan, atau harta.[3]
Pengertian dari istilah Jinayah mengarah kepada hasil perbuatan seseorang. Di kalangan
fuqaha’, perkataan jinayah berarti perbuatan –perbuatan yang terlarang menurut syara. Fuqaha
menggunakan i-tikah hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan
jiwa seperti pemukulan dan pembunuhan.[4]
Pengertian jinayah dibagi kedalam dua jenis, yaitu:
a.
Pengertian Luas
Jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
syara’dan dapat mengakibatkan hukuman had
atau ta’zir.
b.
Pengertian Sempit
Jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilatrang oleh
syara’ dan dapat menimbulkan hukuman had
bukan ta’zir.
Abdul Qadir ‘Audah mendefiniisikan Jinayah yaitu suatu nama
(istilah) untuk perbuatan yang dilarang oleh Syara’, baik perbuatan tersebut
mengenai jiwa, atau harta,atau lainnya. Fiqh Jinayah berbicara tentang
bentuk-bentuk tindak kejahatan yang dilarang Allah untuk manusia melakukannya
dan jika dilakukan maka ia berdosa
kepada Allah dan akibat dari dosa itu kan dirasakan azab Allah
diakhirat. Dalam rangka mempertakut manusia melakukan kejahatan yang dilarang
Allah itu. Allah menetapkan sanksi atau ancaman hukuman itu dalam bahasa fiqh
disebut uqubah dengan bahasa tentang jinayat diiringi dengan
bahasa tentang uqubah Dalam istilah
umum biasa dirangkum dalam “hukum pidana” salah satu contoh hadist tentang
jinayah yaitu membahas tentang qishas
Dalam
sebuah hadis, Nabi bersabda
“Tidak dihalalkan membunuh seorang jiwa yang muslim
kecuali dengan salah satu dari tiga alasan : kufur setelah beriman, berzina
setelah menikah, dan membunuh jiwa ydengan tanpa hak secara zalim dan aniaya.
(HR. Al-Turmidziy dan al-Nasai, dengan isnad sahih).
Dalam Al-Quran terdapat
ayat-ayat yang sangat berkaitan erat dengan hukum tindak pidana;
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
Artinya : “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa”(Al-Baqaroh:179)
Pemakalah berpendapat bahwa jinayah
merupakan sebuah tindakan yang dilarang dan sepatutnya untuk dihindari seperti
perbuatan yang telah diterangkan hadist diatas yakni kufur setelah beriman,
berzina setelah menikah, dan membunuh jiwa ydengan tanpa hak secara zalim dan
aniaya.
2.2.Qasamah
Al-Qasamah adalah masdar
(kata terbitan) bagi “قسما أقسم”dan maknanya “حلف حلفا”
(sumpah). Qasamah dari segi ialah sumpah. [5]
Menurut pengertian syara atau istilah,
Qasamah ialah sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan pembunuhan, sebanyak 50
kali oleh 50 orang lelaki.
Para ulama berbeza
pendapat mengenai kekuatan hukum dengan al-qasamah. Jumhur ulama fiqh
mengatakan bahawa hukum yang ditetapkan dengan cara al-qasamah wajib
dilaksanakan. Sekumpulan ulama yang lain mengatakan bahawa tidak dibolehkan
menetapkan hukum dengan menggunakan cara al-qasamah.
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Sahl ibn Abi Hatsmah;
“DariSahlibnuAbiHatsmahiaberkata:“Abdullahibn Sahal dan Muhaishah ibn Mas’ud pergi ke Khaibar yang waktu itu dalam keadaan damai; kemudian keduanya berpisah. Setelah itu Muhaishah mendatangi Abdullah ibn Sahal yang mati dengan berlumuran darah, lalu ia menguburkannya, setelah itu ia kembali ke Madinah. Abdurrahman ibn Sahal, dan Muhaishah serta Huwaishah keduanya anak ibn Mas’ud, pergi manghadap Nabi saw. Maka Abdurrahman memulai pembicaraan, tetapi Nabi berkata: panggillah orang yang lebih tua umurnya darimu, dan dialah yang berbicara mewakili kaummu maka Abdurrahman diam, dan berbicaralah dua orang saudara (Muhaishah dan Huwaishah). Nabi kemudian berkata:‘apakah kalian mau bersumpah dan kalian berhakterhadappembunuhsaudaramu?’mereka berkata: ‘bagaimana kami bersumpah, padahal kami tidak menyaksikan dan tidak pula melihat (peristiwa pembunuhan tersebut)?’ Nabi berkata: ‘kalian bisa meminta kepada kaum Yahudi (Khaibar) untuk bersumpah limapuluh kali.’ Mereka berkata lagi: ‘bagaimana kami akan menerima sumpah dari kaum kafir?’akhirnyaNabimembayardiat untuksikorbandarihartaNabisendiri.”{HadisRiwayatJama’ah}
Dari kedua hadis tersebut jelaslah bahwa qasamah pernah dilaksanakan oleh Nabi, meskipun pada awalnya qasamah itu merupakan suatu tradisi yang dilakukan oleh orang-orang arab zaman jahiliah, ketika mereka menghadapi kasus pembunuhan yang tidak ada bukti-bukti, baik saksi maupun pengakuan. Atas dasar hadis-hadis tersebut, jumhur ulama, seperti ulama mazhab empat, Zahiriyah, dan Syi’ah berpendapat bahwa qasamah merupakan salah satu cara pembuktian yang sah dan diakui untuk tindak pidana pembunuhan. Akan tetapi, beberapa fuqaha yang lain, seperti Salim ibn Abdullah, Abu Qalabah, Umar ibn Abdul Aziz, al Hakam ibn Utaibah, Qatadah, Sulaiman ibn Yasar, Ibrahim ibn Aliyah, dan Muslim ibn Khalid berpendapat bahwa qasamah tidak boleh dijadikan alat bukti untuk tindak pidana pembunuhan.Alasannyaadalahqasamah menyimpangdariprinsip-prinsippokokSyari’atIslam,yangmeliputiberikutini.
Seseorang tidak boleh bersumpah kecuali atas apa yang ia ketahui secara pasti dan ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Sedangkan qasamah, wali korban sama sekali tidak mengetahui dan tidak menyaksikan pebunuhan, karena tindak pidana pembunuhan tersebut terjadi di tempat yang jauh dari tempat tinggal mereka ( keluarga korban). Pembuktian dan keterangan adalah pihak penuntut, sedangkan sumpah adalah hak terdakwa. Mengenai kelompok hadist sahal yang digunakan sebagai dalil oleh kelompok pertama, kelompok kedua ini dibantah oleh kelompok pertama dengan argumentasi, bahwa qasamah ditetapkan berdasarkan hadist yang khusus. Sehingga tidak bisa dibatalkan dengan dalil yang umum, melainkan justru mentaksiskannya. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara keselamatan jiwa dan sebagai penjegahan terhadap pelaku ( pelanggaran hukum).
Jadi
menurutkami menurut kami qasamah merupakan sebuah tindakan yang bagus di
karenakan dengan adanya qaasamah maka sedikit kemungkinan terjadinya fitnah
2.3.Diyat
Menurut
bahasa adalah denda yang berat, atau ganti rugi pembunuha. Menurut stilah
adalah sejumlah harta yang wajib dibrikan kepada pihak pelaku
pembunuhan/kejahatan kepada pihak teraniaya atau keluarganya untuk
menghilangkan dendam, meringankan beban korban dan keluarganya.
Menurut istilah
adalah sejumlah harta yang dibebankan pelaku, karena terjadinya tindak pidana
pembunuhan (penganiayaan) dan diberikan kepada korban atau walinya.[6]
(Hukum Pidana Islam DRS. H. Ahmad Wardi Muslich Jakarta 2005 Sinar Grafika hal
166 )
B. Beberapahadist yang menerangkantentangdiyat
وعن ابن عمر رضى الله عنهما
عن الني صلى الله عليه وسلم قال :( ان اعتى الناس على الله ثلا ثة : من قتل فى حرم الله , او قتل غير قاتله او قتل
لذ حل الجاهلية ) اخرجه ابن حبا ن فى حديث صححه
Dari Ibn Umar (r.a)
daripadaNabi (s.a.w) bahwabagindabersabda:
“Manusia yang paling
membangkang kepada Allah ada tiga kumpulan; pertama, orang yang
melakukan pembunuhan di tanah haram; kedua, seseorang yang membunuh orang yang
tidak membunuh mangsa; ketiga, orang yang
membunuh karena balas dendam ketika masa jahiliah.”
(Diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam hadis yang dinilai sahih dan aslinya ada di
dalam Sahih al-Bukhari dari pada Ibn ‘Abbas: 1209).
Asbabul wurud dari hadist tersebut adalah Bani Bakar
yang menyerang Bani Khuzaah. Padahal diantara mereka telah ada perjanjian damai di tanah
haram.
Mendengar hal tersebut akhirnya nabi menetapkan bahwa perdamaian ditetapkan kecuali atas dua kabilah tersebut.
Kemudian nabi menyadarkan hadist tersebut.
Kandungan hukum dari hadist tersebut adalah :
1.
Pembunuhan yang dilakukan di tanah haram
lebih kuat hukumannya,
hal ini karena ada dua pelanggaran yaitu membunuh manusia itu sendiri dan melanggar aturan
di tanah haram. Menurut Imam Syafi’I hukuman dari pelanggaran di
atas adalah diyat mugholadzoh.
2.
Membunuh orang tidak bersalah (membunuh)
adalah dosa besar.
3. Dan
demikian juga karena balas dendam dan permusuhan di masa lampau adalah dosa besar.
وعن عبد الله بن عمر وبن
العاص رضى الله عنهما ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ( الا ان دية اخطاء
وشبه العمد , ماكان با لسوط والعصا , مائة من الا بل , منها اربعون فى بطونها
اولادها ) اخرجهاابوداودوالنساءى وابن ماجه,وصححه ابن
حبان
Dari Abdulah bin ‘Amr
bin al-‘Ash (r.a) bahwaRasulullah (s.a.w) bersabda: “Ingatlah bahwa diyat pembunuhan silap dan pembunuhan mirip sengaja
yang menggunakan cemeti dan tongkat adalah seratus unta, di
mana empat puluh dari padanya mengandung anak dalam perutnya.” (Diriwayatkanoleh Abu
Dawud, al-Nasa’i dan Ibn Majah dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban:1210).
Hadist tersebut menjelaskan tentang jenis pembunuhan tersalah dan pembunuhan seperti sengaja
yang menggunakan cambuk dan tongkat adalah 100 ekor unta yang 40
ekor diantaranya adalah sedang hamil. Dapat diambil kesimpulan,
bahwa pembunuhan tersebut memakai senjata, sehingga pembunuhan yang
memiliki ciri-ciri serupa dikategorikan hukumnya sesuai hadist itu.
و عن ابن عباس عن النبى صلى
الله عليه وسلم قال ( هذ ه و هذه سوا , يعنى الخنصر والاءبها م ) رواه البخارى
ولابى داود والتر مذى : ( دية الاصا بع سوا , والا سنا ن سوا , الثنية والضرس سو )
ولابن حبان ( دية اصا بع اليدين والرجلين سوا ,عشرة من الابل لكل اصبع
)
Dari Abdullah bin ’Abbas
(r.a) Rasulullah (s.a.w), baginda bersabda: “Ini dan ini sama,
yakni keingking dan ibu jari.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari. Sedangkan riwayat
Abu Dawud dan al-Tirmizi berbunyi: “Diyat seluruh jari itu sama, seluruh gigi itu sama,
sama ada geraham atau pungusi.” Sedangkan lafaz Ibn Hibban pula berbunyi: “Diyat jari kedua tangan dan kedua
kaki itu sama; yaitu sepuluh ekor unta untuk setiap satu jari;1211.
Hadist ini menjelaskan keumuman hokumnya atau tidak ada istisna (semua gigi itu sama).
Demikian juga untuk jari tangan dan jari kaki. Walaupun pada prakteknya ada jari yang
lebih sering dipakai tetapi hal itu tidak bisa mengubah ketentuan hukum.
وعنه ان النبى صلى الله عليه
وسلم قال ( فى المواضع خمس , خمس , من الابل ) رواه احمد والاربعة , وزاد احمد (
ولأ صابع سوا , كلهن عشر , عشر , من الابل ) وصححه ابن خزيمة وابن
الجارود
Dari Amr bin Syu’aib bahwa Rasulullah
(s.a.w) bersabda: “Pada luka yang menyebabkan kelihatan tulang wajib dibayar dengan
lima ekor unta.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Arba’ah dan Imam Ahmad
menambahkan: “Seluruh jari itu sama; semuanya wajib dibayar dengan sepuluh ekor unta.”
Ia dinilai sahih oleh Ibn Khuzaimah dan Ibn al-Jarud: 1213).
Hadist ini hampir sama maksudnya dengan hadists sebelumnya tetapi pada hadist ini ada keterangan tentang besarnya diyat dan ada keterangan tentang perbuatan
yang menyebabkan luka yang tampak tulangnya. Hadist ini mempunyai kandungan hukum
yang bersifat umum. Hal ini tampak dari susunan kalimat awalnya yang
berupa khobar muqaddam dan mubtada muakhar, sehingga berdasarkan hadits inisemua
orang yang terkena diyat sebagaimana hadist tersebut.
وعن
عمر وبن شعيب عن أبيه عن جده رضى الله عنهم رفعه قال ( من تطبب ولم يكن با
لطب معر وفا فأ صاب نفسا فما دونها , فهو ضامن ) أخرجه الدار قطنى
وصححه احاكم , وهو عند أبى داود والنساءى وغيرهما,الاان من أرسله اقوى ممن
وصله
Diriwayatkan dari pada
‘Amr bin Syu’aib dari pada ayahnya daripada datuknya dalam hadismarfu’ bahwa Rasulullah
(s.a.w) bersabda: “Barangsiapa yang
memaksakan diri melakukan praktik kesehatan sedangkan dia tidak mempunyai kepakaran dalam ilmu perubatan lalu akibat perbuatannya itu merugikan nyawa
atau anggota tubuh pesakit, maka orang itu wajib bertanggung jawab atas perbuatannya.” (Diriwayatkan oleh
al-Daruquthni dan dinilai sahih oleh al-Hakim. Hadis ini turut diriwayatkan oleh Abu
Dawud, al-Nasa’i dan lain-lain, namun ulama yang menilai hadis ini mursal lebih kuat berbanding
yang menilai hadis mawsul: 1212).
Hadist ini menjelaskan hal yang istimewa,
yaitu kesalahan dalam bidang kedokteran. Menurut Jumhurul ‘Ulama’
bila kesalahan itu terjadi tidak secara langsung, maka ia tidak terkena tuntutan,
tetapi bila terjadi secara langsung makai abis dituntut,
tapi itu pun ditnggung oleh keluarganya.
Kecuali bila si dokter tersebut memang tidak mempunyai kemampuan mengobati sesuai ilmu kedokteran,
mka ia wajib menanggung semua resiko kesalahnnya.
Pendapat ini dikeluarkan oleh Jumhur Ulama’. Menurut Abu Hanifah: “orang yang
melakukan kesalahan tidak sengaja tidak terkena diyat”. Menurut
Al-Syafi’I kasus ini ditafshil, bila disebabkan kesalahan atau kelalaian dokter,
ia terkena diyat sesuai kesalahannya dan ditanggung sendiri, bukan oleh keluarganya.
Sedangkan bila kasus itu memang diluar kesengajaan, maka ia terkena tuntutan.
Jadi menurut kami:
1.
Diyat adalah sejumlah harta yang
dibayarkan sebagai ganti rugi atas jiwa. Hal ini berlaku bila keluarga memaafkan.
Bila tidak memaafkan terkena hukuman qishash (pembunuhan sengaja).
2.
Jenis pembunuhan tersalah dan pembunuhan seperti sengaja
yang menggunakan senjata diyatnya 100 ekor unta yang 40
ekor diantaranya sedang hamil.
3. Kesamaan untuk diyat jari-jari.
Walaupun dalam penggunaannya tidak sama, adalah 10 ekor unta untuk setiap satu jari.
2.4 KUHP tentang Jinayah
Pembunuhan
Pasal 338 KUHP
“Barang
siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Penganiayaan
Pasal 351 KUHP
Ayat 1
“Penganiayaan
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Ayat 2
“Jika
perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan idana
penjara paling lama lima tahun.”
Ayat 3
“Jika
mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Ayat 4
“Dengan
penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan fisik.”
Ayat 5
“Percobaan
uuntuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.”
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jinayyah adalah setiapa perbuatan yang dilarang. Perbuatan
yang dilarang adalah setiap perbuatan yang dicegah dan ditolak oleh syariat,
lantaran mengandung bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan, atau harta.
Qasamah ialah sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan pembunuhan, sebanyak 50
kali oleh 50 orang lelaki. Diyat ialah sejumlah
harta yang dibebankan pelaku, karena terjadinya tindak pidana pembunuhan
(penganiayaan) dan diberikan kepada korban atau walinya. Pada Jinayah apabila
seseorang tidak dijatuhi hukuman Qhisash maka orang itu akan dikenakan diyat.
3.2 Saran
Bacalah hadist dengan baik dan benar, dalam hal ini bukan
hanya sekedar membacanya saja melainkan kita harus mengetahui sumber, kualitas
dan pendapat para ulama untuk lebih meyakinkan kita tentang hadist tersebut
DAFTAR PUSTAKA
LabibMzdanHarniawati.RisalahFiqhIslam.
BerkiblatpadaAhlussunahWalJamaa. Surabaya: 2001
Bintang
Usaha Jaya
Muhammad
bin Ismail al-Kahlaniydan Ash-Shan’aniy. Subulus Salam Juz 3. Hidayat. Surabaya.
Zainudin
bin Abdul Azis al-Mulaibariy. FathulMuin. KaryaToha Putra. Semarang.
Muslich.
Ahmad Wardi.hukum pidana Islam.
Jakarta: 2005. Sinar Grafika
[1] M.Nurul irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta:2011. Amzah. hlm. 6
[2] Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah. Jakarta:2012. Cakrawala Publishing. hlm.378
[3] ibid
[4] A.Djazuli,Fiqh
Jinayah. Jakarta:1996. PT. Raja Grafindo Persada. hlm.1,2
[5]Abd
Al-Karim Zaidan, Sistem Kehakiman Islam,Terj
Haji Mohd Saleh b. Haji Ahmad, Selangor:2010 Pustaka Haji Abdul Majid.hlm 297
[6]Ahmad Wardi Muslich, hukum pidana Islam Jakarta 2005 Sinar Grafika hal 166
Tidak ada komentar:
Posting Komentar