BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR
BELAKANG
Hukum
Pidana atau Fiqh Jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang berlaku
semenjak diutusnya Rasulullah saw. Oleh karenanya pada zaman Rasulullah dan
Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu
hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau
ulil amri.
Walaupun
dalam kenyataannya, masih banyak umat islam yang belum tahu dan paham tentang
apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan
hukum tersebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Maka pada kesempatan ini pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang
hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir, berikut dengan pengertian,
dasar hukum serta jarimah-jarimah yang meliputinya.
Ada
tiga bagian jarimah yang digolongkan menurut berat ringannya hukuman, yaitu
Hudud, Qishas-Diyat dan Ta’zir. Hudud dapat dikategorikan sebagai sebuah
hukuman yang telah ditetapkan oleh nash. Qishas-Diyat adalah hukuman yang
apabila dimaafkan maka qishas dapat diganti dengan diyat. Dan
Ta’zir, adalah jarimah yang belum ada ketentuan nasnya dalam
Al-Qur’an. Belum ditentukan seberapa
kadar hukuman yang akan diterima oleh si tersangka/si pelaku kejahatan. Jarimah
ta’zir lebih di tekankan pada hukuman yang diberikan oleh pemerintah/kekuasaan
mutlak berada di tangan pemerintah tapi masih dalam koridor agama yang tidak
boleh bertentangan dengan hukum Allah swt.
1.2.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa saja
hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir?
2. Apa dasar hukum
disyari’atkan jarimah ta’zir?
3. Apa saja sanksi
terhadap jarimah ta’zir?
4. Apakah penjelasan
atau pengertian dari ta’zir?
1.3.
TUJUAN
1. Mengetahui
dan mengerti pengertian dari ta’zir
2. Mengetahui
dasar hukum disyariatkannya jarimah ta’zir
3. Mengetahui
sanksi-sanksi terhadap jarimah ta’zir
4. Mengetahui
hadist-hadist yang berkaitan dengan hukum ta’zir
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
MATAN
HADIST
a.)
Hadits Nabi yang diriwayatkan
oleh Burdah :
عن ابي بردة الانصاري انه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم
يقول : لا يجلد احد فوق عشرة اسواط الا فى حد من حدود الله. (رواه مسلم
b.)
Hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah :
عن عا عشة ان النبي قال اقيلوا ذوى هيئا ت عسراتهم الا الحدود.
(رواه احمد ابو داوود و النسائي و البيها قي
c.)
Hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim :
عنبهزابنحكيمعنابيعنجدّه,
أنّالنّبيّصلىاللهعليهوسلّمحبسفىالتهمة (رواهابوداودوالتّرمذيوالنسائىوالبيهقىوصّحيحهالحاكم)
2.
TERJEMAH
a.) Dari Abu Burdah Al Anshari r.a., katanya
dia mendengar Rasulullah saw bersabda : “Sesorang tidak boleh didera lebih dari
sepuluh kali, melainkan hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti
hukuman bagi orang berzina dan sebagainya.” (Riwayat Muslim) [[1]]
b.) Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi saw bersabda
: ”Ampunkanlah gelinciran orang-orang yang baik-baik kecuali had-had.” (Riwayat
Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Baihakki) [[2]]
d.)
Dari Bahz ibn Hakim
dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw menahan seseorang karena disangka
melakukan kejahatan. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan
Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim).[[3]]
3.
ASBABUL
WURUD
Dalam
ketiga hadits diatas, kami tidak menemukan asbabul wurudnya.
4.
KATA-KATA
YANG SULIT DIJELASKAN
HADIS KE-1 :
•Sepuluh
kali cambuk = عشرة اسواط
HADIS KE-2 :
•Ampunkanlah = اقيلوا
Iqalah
(Aqi-lu) menurut pengertian asalnya adalah kesepakatan penjual atas pembatalan
penjualan.Dan dimaksudkan disini adalah kesepakatan orang baik-baik itu untuk meninggalkan
hukuman atasnya atau peringanan hukumannya.
•Orang-orang
yang baik = ذوى
هيئا ت
Ditafsirkan
Imam Syafi’i dengan orang-orang yang tidak diketahui berbuat jelek yang pada
suatu ketika dia berbuat salah.
•Kegelinciran
= عسراتهم
Atsarat
adalah jamak dari kata “Atsarah” (tergelincir), tetapi yang dimaksud disini
adalah kesalahan. Al-Mawardi meriwayatkan tentang hal itu dengan 2 pengertian,
yaitu :
1. Mereka itu hanya
melakukan dosa-dosa kecil saja
2.
Baru pertama kali berbuat ma’siat yang menjadikan tergelincirnya orang yang
biasa patuh.
5.
PENGERTIAN
A. Secara
bahasa atau secara etimologis : ta’zir berasal dari kata ‘azzara yuazziru ta’ziran’ yang artinya mencegah dan menolak atau
mendidik dan memukul
dengan sangat
B. Secara
istilah atau terminologis :
Menurut istilah, ta’zir
didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut :
“Ta’zir adalah hukuman yang
bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh
syara’. [[4]]
Dari definisi yang dikemukakan
diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas
jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.Dikalangan Fuqaha,
jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah
ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk
jarimah (tindak pidana)
Ta’zir sering juga dapat dipahami
bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak
dikenakan hukuman had atau kaffarat. Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada
penguasa atau hakim.Hukuman dalam jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya
atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan
sepenuhnya kepada hakim (penguasa).Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan
kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.
Abu Ishaq Al-Siroji mendefinisikan
ta’zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh Al-Qur’an dan hadist yang
berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang
berfungsi untuk memberi pelajaran kepada terpidana dan mencegahnya untuk tidak
mengulangi lagi kejahatan itu.
Dengan demikian menurut hemat penulis, tujuan sanksi ta;zir itu bersifat
prefentif (pencegahan), represif (diharapkan dapat memberikan
dampak positif bagi terpidana), kuratif
(diharapkan mampu membawa perbaikan sikap dan perilaku terpidana di kemudian
hari), dan edukatif (diharapkan dapat
menyembuhkan hasrat terpidana untuk mengubah pola hidupnya ke arah yang lebih
baik lagi).
6.
HUKUMAN
BAGI KESALAHAN TA’ZIR
1. Ta`zir adalah hukuman
yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh syara`
atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Dasar hukum ta`zir adalah
pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan.Pelaksanaannya
pun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan.Karena sifatnya yang mendidik,
maka bisa dikenakan pada anak kecil.
2. Dalam menetapkan
jarimah ta'zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga
kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan
(bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip
syar'i.
3. Bentuk sanksi ta`zir
bisa beragam, sesuai keputusan Hakim. Namun secara garis besar dapat dibedakan
menjadi beberapa macam, diantaranya yaitu hukuman mati bisa dikenakan pada
pelaku hukuman berat yang berulang-ulang.Hukuman cambuk, hukuman penjara,
hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk barang, hukuman
denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan, ancaman, pengucilan,
pemecatan, dan publikasi.
4. Lihat QS. Al-Maidah: 12, al-A’raf: 157. Surat al-Maidah ayat 12 berbunyi:
artinya :”Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israel dan telah Kami angkat di antara mereka dua belas orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan salat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Maka barang siapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus". (QS. Al-Maidah: 12)
Artinya“(Yaitu) orang-orang yang
mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam
Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang
ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi
mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan
membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.
Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka
itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al-A’raf: 157)
Disamping
itu dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi
kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Jarimah ta’zir yang
berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishash, tetapi syarat-syaratnya tidak
terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nisab, atau
oleh keluarga sendiri.
2. Jarimah ta’zir yang
jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumannya belum ditetapkan,
seperti riba, suap dan mengurangi takaran dan timbangan.
3. Jarimah ta’zir yang
baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’ jenis ketiga ini
sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai
pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas.[[5]]
HADIS KE-1
1. Untuk selain dosa-dosa
yang sudah ditentukan pukulan 40, 80 dan 100, tidak boleh dihukum pukul lebih
dari 10 dera (ta’zir).
2. Ini berarti hukuman
yang tidak lebih dari 10 dera itu di serahkan kepada pertimbangan hakim.
3. Orang yang dikenakan
hukum oleh hakim muslim sebanyak 10 kali cambuk berdasarkan hadis di atas dapat
dimasukkan dalam hukuman ringan yang disebut dengan hukum ta’zir. Hukuman
ta’zir ini dapat dilakukan menurut keputusan hakim muslim misalnya karena
mengejek orang lain, menghina orang, menipu dan sebagainya. Dengan demikian
hukuman ta’zir ini keadaannya lebih ringan dari 40 kali dera yang memang sudah
ada dasarnya dari Nabi terhadap mereka yang minum minuman keras.Berarti dibawah
40 kali cambuk itu dinyatakan sebagai hukuman ta’zir (yaitu dipukul yang keras).
Jadi orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum syariat yang
telah jelas hukumannya misalnya gadis yang berzina dengan lelaki (yaitu
dicambuk 100 kali), peminum minuman keras (sebanyak 40 kali) dan lainnya adalah
termasuk melakukan pelanggaran syariat yang disebut dengan hudud (Hukum Allah).
Adapun yang lebih ringan disebut ta’zir yang dilakukan menurut pertimbangan
hakim muslim.[[6]]
4. Yang dimaksud had
disini adalah had atas perbuatan maksiat, bukan hukum yang telah ditetapkan
dalam syariah. Akan tetapi, yang dimaksud disini adalah semua bentuk perbuatan
yang diharamkan. Semua hudud Allah adalah haram, maka pelakunya harus dita’zir
sesuai dengan kadar pertimbangan maslahat dan kemaksiatan yang dilakukannya.[[7]]
HADIS KE-2
Maksudnya,
bahwa orang-orang baik, orang-orang besar, orang-orang ternama kalau
tergelincir di dalam sesuatu hal, ampunkanlah, karena biasanya mereka tidak
sengaja kecuali jika mereka telah berbuat sesuatu yang mesti didera maka
janganlah di ampunkan mereka.
Mengatur
tentang teknis pelaksanaan hukuman ta’zir yang bisa berbeda antara satu pelaku
dengan pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain
yang menyertainya.Perintah “Aqi-lu” itu ditunjukan kepada para pemimpin/para
tokoh, karena kepada mereka itulah diserahi pelaksanaan ta’zir, sesuai dengan
luasnya kekuasaan mereka. Mereka wajib berijtihad dalam usaha memilih yang
terbaik, mengingat hal itu akan berbeda hukuman ta’zir itu sesuai dengan
perbedaan tingkatan pelakunya dan perbedaan pelanggarannya. Tidak boleh
pemimpin menyerahkan wewenang pada petugas dan tidak boleh kepada selainnya.[[8]]
Adapun
tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk jarimah dan hukuman
ta’zir antara lain tindakan Sayyidina Umar ibn Khattab ketika ia melihat
seseorang yang menelentangkan seekor kambing untuk disembelih, kemudian ia
tidak mengasah pisaunya. Khalifah Umar memukul orang tersebut dengan cemeti dan
ia berkata: ”Asah dulu pisau itu”
HADIS KE-3
Hadits
ini menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga
melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan.Perkataan
“karena suatu tuduhan” itu menunjukkan bahwa penahanan itu disamping ada yang
berstatus sebagai hukuman, juga sebagai membersihkan diri.
7.
RUANG
LINGKUP DAN PEMBAGIAN JARIMAH TA’ZIR
Berikut ini ruang lingkup dalam
ta’zir, yaitu sebagai berikut:
1. Jarimah
hudud atau qishash-diyat yang terdapat syubhat, dialihkan ke sanksi ta’zir,
seperti :
A. Orang
tua yang mencuri harta anaknya. Dalilnya yaitu :
Kamu
dan hartamu adalah milik ayahmu. (HR. ahmad dan
Ibnu majjah)
B. Orangtua
yang membunuh anaknya. Dalilnya yaitu:
Orangtuamu
tidak dapat dijatuhi hukuman qishash karena membunuh anaknya.
(HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Kedua
hadist tersebut melarang pelaksanaan qishash terhadap seorang ayah yang
membunuh anaknya. Begitu pula ayah yang mencuri harta anaknya tidak akan dikenakan
hukuman had potong tangan. Dengan adanya kedua hadist itu menimbulkan syubhat
bagi pelaksanaan qishash dan had. Adapun mengenai syubhat, didasarkan atas
hadist berikut:
Hindarkanlah had, jika
ada syubhat. (HR. Al-Baihaqi)
2. Jarimah
hudud atau qishash diyat yang tidak memenuhi syarat akan dijatuhi sanksi
ta’zir. Contohnya percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, dan percobaan
zina.
3. Jarimah
yang ditentukan Al-Qur’an dan hadist, namun tidak ditentukan sanksinya.
Misalnya penghinaan, tidak melaksanakan amanah, saksi palsu, riba, suap, dan
pembalakan liar.
4. Jarimah
yang ditentukan ulil amri untuk kemaslahatan ummat, seperti penipuan,
pencopetan, pornografi, dan pornoaksi, penyelundupan, pembajakan, human trafficking, dan money laundering.
Jarimah
ta’zir apabila dilihat dari hak yang dilanggar dibagi menjadi dua, yaitu
sebagai berikut :
A. Jarimah
ta’zir yang menyinggung hak Allah, yaitu semua perbuatan yang berkaitan dengan
kemaslahatan umum. Misalnya, berbuat kerusakan di muka bumi, pencurian yang
tidak memenuhi syarat, mencium wanita yang bukan istrinya, penimbunan
bahan-bahan pokok, dan penyelundupan.
B. Jarimah
ta’zir yang menyinggung hak perorangan (individu), yaitu setiap perbuatan yang
mengakibatkan kerugian pada orang tertentu, bukan orang banyak. Contohnya
penghinaan, penipuan dan pemukulan.[[9]]
8.
PENDAPAT IMAM MAZHAB
A.
Tersebut di dalam suatu
riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menta’zir dan memberi
pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan dan memukul pelakunya,
pernah pula beliau radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai penjual khamr dan
membakar suatu desa yang menjadi tenpat penjualan khamr. Ta’zir dalam perkara
yang disyariatkan adalah ta’zir yang wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah,
Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah.
B. Adapun Imam Syafi’i mengatakan bahwa
Hukum Ta’zir itu tidak wajib.
9. PENDAPAT
PEMAKALAH
Hukum Ta’zir di dalam Islam harus dilaksanakan pada
setiap perbuatan maksiat yang tidak ada hukuman had ataupun ketentuan membayar
kafaratnya. Karena, perbuatan tersebut termasuk kategori perbuatan yang
terlarang dalam syariat.Pelaksanaan hukuman ta’zir berbeda-beda sesuai dengan
kejahatan yang diperbuat, sebab kejahatan sendiri ada bermacam-macam, dari yang
ringan sampai yang berat. Bentuk hukuman ta’zir tidak boleh dengan cara
memotong janggut seseorang. Sebab, hukuman ini bisa masuk kedalam kategori
pelecehan dan penghinaan. Tidak boleh juga menjatuhkan ta’zir dengan cara yang
dilarang agama seperti menyiram pelaku dengan khamr dan minuman keras.
Dikarenakan hukuman ta’zir harus dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan
dengan syariat demi menciptakan kemaslahatan.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian singkat tentang jinayat ta’zir di atas,
terdapat hal-hal yang menarik perhatian kita untuk dikaji lebih jauh, baik yang
berkaitan tentang pengertian atau definisi hingga pendapat para fuqaha tentang hal-hal
yang berkaitan, yaitu :
1. Kita dapat menyimpulkan
bahwa ta’zir adalah sebuah jarimah dengan kebijakan hukuman paling ringan
dibanding jarimah yang lain. Jarimah ini pun memiliki tingkat kemungkinan
paling luas, karena keputusan hukuman sangat bergantung pada hakim.
2. Rasulullah melarang para
hakim untuk memberikan hukuman pada terdakwa pelaku jarimah ta’zir melebihi
hukuman had atau untuk jarimah yang telah ditetapkan hukumannya oleh Allah.
Karena sesungguhnya hukuman jarimah ta’zir di tujukan untuk mendidik agar
pelaku tidak melanggar itu kembali.
3. Segala perintah dan
larangan yang Allah tetntukan pasti terdapat hukuman yang mengiringinya. Baik
kadarnya langsung dari Allah atau dikembalikan pada maslahat yang di pandang
oleh hakim.
B.
SARAN
Menurut pemakalah, Hukum Ta’zir di dalam Islam harus
dilaksanakan pada setiap perbuatan maksiat yang tidak ada hukuman had ataupun
ketentuan membayar kafaratnya. Karena, perbuatan tersebut termasuk kategori
perbuatan yang terlarang dalam syariat.Pelaksanaan hukuman ta’zir berbeda-beda
sesuai dengan kejahatan yang diperbuat, sebab kejahatan sendiri ada
bermacam-macam, dari yang ringan sampai yang berat. Hukum Ta’zir dan semua
hukum islam yang diperintahkan oleh Allah adalah hukuman yang paling efektif.
Kerena memenuhi semua aspek dari sebuah hukuman yaitu preventive, edukatif dan
repressive.Sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang aman, damai dan tentram.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Bahreisj, Hussein, Terjemah
Hadits Shahih Muslim 3, Jakarta : Widjaya, 1983
·
Al-Asqalany, Ibnu
Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Bandung : CV. Penerbit Diponegoro,
2002, Cet. 26
·
Ash-Shiddieqy, Teungku
Muhammad Hasbi, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, jilid 9, Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra. 2001, Cet III
·
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum
Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset. 2005, Cet.II.
·
Bahreisj, Hussein
Khallid, Himpunan Hadits Shahih Muslim, Surabaya : Al-Ikhlas, 1987
·
Al-fauzan, Saleh, Terjemah
Al-mulakhkhasul fiqh. Terj. Ahmad Ikhwani,dkk, Jakarta : Gema Insani,
2005
·
Shan’Ani ASH, Subulus
Salam, jilid 4, Surabaya: Al-Ikhlas. 1996
·
Abu Al-Hasan Ali
Al-Mawardi, Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah,
Beirut :Dar Al-Fikr, 1996
·
Dr. H.M. Nurul Irfan,
M.Ag dan Masyrofah,Fiqh Jinayah, Jakarta: AMZAH, 2007. Cet.1.
[1] ] Hussein Bahreisj, Terjemah Hadits Shahih Muslim 3, Jakarta :
Widjaya 1983, Hal. 255
[2]] Al-Asqalany Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Bandung : CV.
Penerbit Diponegoro 2002, Cet. 26, Hal. 576-577
[3]] Teuku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Juz IX, PT.Pustaka Rizki Putra,
Semarang, 2001,
[4]] Abu Al-Hasan Ali
Al-Mawardi, Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Dar Al-Fikr, Beirut, 1996, hlm. 236.
[5]] Drs. H. Ahmag Wardi
Muslich. Hukum Pidana Islam.Jakarta : Sinar Grafika, 2005. Hlm. 255
[6]] Hussein Khallid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih Muslim, Surabaya
: Al-Ikhlas, 1987, Hal. 241-242
[7]] Saleh al-fauzan, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh.Terj. Ahmad
Ikhwani,dkk, Jakarta : Gema Insani, 2005, Hal. 847
[8]] Ash.Shan’Ani, Subulussalam, Terj. H.Abubakar Muhammad,
Surabaya: Al-Ikhlas, hlm. 158
[9] Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag dan Masyrofah. Fiqh Jinayah, Jakarta:
AMZAH. 2007, hlm.143-144
Tidak ada komentar:
Posting Komentar