Kamis, 06 April 2017

hadits ahkam: ta'zir



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.            LATAR BELAKANG

Hukum Pidana atau Fiqh Jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang berlaku semenjak diutusnya Rasulullah saw. Oleh karenanya pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri.
Walaupun dalam kenyataannya, masih banyak umat islam yang belum tahu dan paham tentang apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan hukum tersebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka pada kesempatan ini pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir, berikut dengan pengertian, dasar hukum serta jarimah-jarimah yang meliputinya.
Ada tiga bagian jarimah yang digolongkan menurut berat ringannya hukuman, yaitu Hudud, Qishas-Diyat dan Ta’zir. Hudud dapat dikategorikan sebagai sebuah hukuman yang telah ditetapkan oleh nash. Qishas-Diyat adalah hukuman yang apabila dimaafkan maka qishas dapat diganti dengan diyat. Dan Ta’zir, adalah jarimah yang belum ada ketentuan nasnya dalam Al-Qur’an.  Belum ditentukan seberapa kadar hukuman yang akan diterima oleh si tersangka/si pelaku kejahatan. Jarimah ta’zir lebih di tekankan pada hukuman yang diberikan oleh pemerintah/kekuasaan mutlak berada di tangan pemerintah tapi masih dalam koridor agama yang tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah swt.

1.2.            RUMUSAN MASALAH

1. Apa saja hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir?
2. Apa dasar hukum disyari’atkan jarimah ta’zir?
3. Apa saja sanksi terhadap jarimah ta’zir?
4. Apakah penjelasan atau pengertian dari ta’zir?

1.3.            TUJUAN

1.      Mengetahui dan mengerti pengertian dari ta’zir
2.      Mengetahui dasar hukum disyariatkannya jarimah ta’zir
3.      Mengetahui sanksi-sanksi terhadap jarimah ta’zir
4.      Mengetahui hadist-hadist yang berkaitan dengan hukum ta’zir








































BAB II
 PEMBAHASAN
1.      MATAN HADIST

a.)              Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Burdah :

عن ابي بردة الانصاري انه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول :  لا يجلد احد فوق عشرة اسواط الا فى حد من حدود الله. (رواه مسلم
b.)              Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :

عن عا عشة ان النبي قال اقيلوا ذوى هيئا ت عسراتهم الا الحدود. (رواه احمد ابو داوود و النسائي و البيها قي

c.)              Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim :

عنبهزابنحكيمعنابيعنجدّه, أنّالنّبيّصلىاللهعليهوسلّمحبسفىالتهمة (رواهابوداودوالتّرمذيوالنسائىوالبيهقىوصّحيحهالحاكم)

2.      TERJEMAH

a.)       Dari Abu Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda : “Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina dan sebagainya.” (Riwayat Muslim) [[1]]

b.)      Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi saw bersabda : ”Ampunkanlah gelinciran orang-orang yang baik-baik kecuali had-had.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Baihakki) [[2]]

d.)             Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim).[[3]]

3.      ASBABUL WURUD

Dalam ketiga hadits diatas, kami tidak menemukan asbabul wurudnya.

4.      KATA-KATA YANG SULIT DIJELASKAN

 HADIS KE-1 :
•Sepuluh kali cambuk =  عشرة اسواط

  HADIS KE-2 :
•Ampunkanlah =  اقيلوا

Iqalah (Aqi-lu) menurut pengertian asalnya adalah kesepakatan penjual atas pembatalan penjualan.Dan dimaksudkan disini adalah kesepakatan orang baik-baik itu untuk meninggalkan hukuman atasnya atau peringanan hukumannya.
•Orang-orang yang baik = ذوى هيئا ت
Ditafsirkan Imam Syafi’i dengan orang-orang yang tidak diketahui berbuat jelek yang pada suatu ketika dia berbuat salah.

•Kegelinciran =  عسراتهم
Atsarat adalah jamak dari kata “Atsarah” (tergelincir), tetapi yang dimaksud disini adalah kesalahan. Al-Mawardi meriwayatkan tentang hal itu dengan 2 pengertian, yaitu :
1. Mereka itu hanya melakukan dosa-dosa kecil saja
2. Baru pertama kali berbuat ma’siat yang menjadikan tergelincirnya orang yang biasa patuh.

5.      PENGERTIAN

A.    Secara bahasa atau secara etimologis : ta’zir berasal dari kata ‘azzara yuazziru ta’ziran’ yang artinya mencegah dan menolak atau mendidik dan memukul
dengan sangat

B.     Secara istilah atau terminologis :

Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut :

“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. [[4]]

Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana)
Ta’zir sering juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat. Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim.Hukuman dalam jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa).Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.

Abu Ishaq Al-Siroji mendefinisikan ta’zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh Al-Qur’an dan hadist yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada terpidana dan mencegahnya untuk tidak mengulangi lagi kejahatan itu.

     Dengan demikian menurut hemat penulis, tujuan sanksi ta;zir itu bersifat prefentif (pencegahan), represif (diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi terpidana), kuratif (diharapkan mampu membawa perbaikan sikap dan perilaku terpidana di kemudian hari), dan edukatif (diharapkan dapat menyembuhkan hasrat terpidana untuk mengubah pola hidupnya ke arah yang lebih baik lagi).

6.      HUKUMAN BAGI KESALAHAN TA’ZIR

1. Ta`zir adalah hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Dasar hukum ta`zir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan.Pelaksanaannya pun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan.Karena sifatnya yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil.
2. Dalam menetapkan jarimah ta'zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i.
3. Bentuk sanksi ta`zir bisa beragam, sesuai keputusan Hakim. Namun secara garis besar dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya yaitu hukuman mati bisa dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang.Hukuman cambuk, hukuman penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan, ancaman, pengucilan, pemecatan, dan publikasi.

4. Lihat QS. Al-Maidah: 12, al-A’raf: 157. Surat al-Maidah ayat 12 berbunyi:


artinya :”Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israel dan telah Kami angkat di antara mereka dua belas orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan salat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Maka barang siapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus". (QS. Al-Maidah: 12)



Artinya“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al-A’raf: 157)

Disamping itu dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishash, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri.
2. Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi takaran dan timbangan.
3. Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’ jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas.[[5]]

  HADIS KE-1
1. Untuk selain dosa-dosa yang sudah ditentukan pukulan 40, 80 dan 100, tidak boleh dihukum pukul lebih dari 10 dera (ta’zir).
2. Ini berarti hukuman yang tidak lebih dari 10 dera itu di serahkan kepada pertimbangan hakim.
3. Orang yang dikenakan hukum oleh hakim muslim sebanyak 10 kali cambuk berdasarkan hadis di atas dapat dimasukkan dalam hukuman ringan yang disebut dengan hukum ta’zir. Hukuman ta’zir ini dapat dilakukan menurut keputusan hakim muslim misalnya karena mengejek orang lain, menghina orang, menipu dan sebagainya. Dengan demikian hukuman ta’zir ini keadaannya lebih ringan dari 40 kali dera yang memang sudah ada dasarnya dari Nabi terhadap mereka yang minum minuman keras.Berarti dibawah 40 kali cambuk itu dinyatakan sebagai hukuman ta’zir (yaitu dipukul yang keras). Jadi orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum syariat yang telah jelas hukumannya misalnya gadis yang berzina dengan lelaki (yaitu dicambuk 100 kali), peminum minuman keras (sebanyak 40 kali) dan lainnya adalah termasuk melakukan pelanggaran syariat yang disebut dengan hudud (Hukum Allah). Adapun yang lebih ringan disebut ta’zir yang dilakukan menurut pertimbangan hakim muslim.[[6]]
4. Yang dimaksud had disini adalah had atas perbuatan maksiat, bukan hukum yang telah ditetapkan dalam syariah. Akan tetapi, yang dimaksud disini adalah semua bentuk perbuatan yang diharamkan. Semua hudud Allah adalah haram, maka pelakunya harus dita’zir sesuai dengan kadar pertimbangan maslahat dan kemaksiatan yang dilakukannya.[[7]]


  HADIS KE-2
Maksudnya, bahwa orang-orang baik, orang-orang besar, orang-orang ternama kalau tergelincir di dalam sesuatu hal, ampunkanlah, karena biasanya mereka tidak sengaja kecuali jika mereka telah berbuat sesuatu yang mesti didera maka janganlah di ampunkan mereka.
Mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman ta’zir yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.Perintah “Aqi-lu” itu ditunjukan kepada para pemimpin/para tokoh, karena kepada mereka itulah diserahi pelaksanaan ta’zir, sesuai dengan luasnya kekuasaan mereka. Mereka wajib berijtihad dalam usaha memilih yang terbaik, mengingat hal itu akan berbeda hukuman ta’zir itu sesuai dengan perbedaan tingkatan pelakunya dan perbedaan pelanggarannya. Tidak boleh pemimpin menyerahkan wewenang pada petugas dan tidak boleh kepada selainnya.[[8]]
Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk jarimah dan hukuman ta’zir antara lain tindakan Sayyidina Umar ibn Khattab ketika ia melihat seseorang yang menelentangkan seekor kambing untuk disembelih, kemudian ia tidak mengasah pisaunya. Khalifah Umar memukul orang tersebut dengan cemeti dan ia berkata: ”Asah dulu pisau itu”
  HADIS KE-3
Hadits ini menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan.Perkataan “karena suatu tuduhan” itu menunjukkan bahwa penahanan itu disamping ada yang berstatus sebagai hukuman, juga sebagai membersihkan diri.
7.      RUANG LINGKUP DAN PEMBAGIAN JARIMAH TA’ZIR
         Berikut ini ruang lingkup dalam ta’zir, yaitu sebagai berikut:
1.      Jarimah hudud atau qishash-diyat yang terdapat syubhat, dialihkan ke sanksi ta’zir, seperti :

A.    Orang tua yang mencuri harta anaknya. Dalilnya yaitu :

Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu. (HR. ahmad dan Ibnu majjah)
B.     Orangtua yang membunuh anaknya. Dalilnya yaitu:

Orangtuamu tidak dapat dijatuhi hukuman qishash karena membunuh anaknya. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Kedua hadist tersebut melarang pelaksanaan qishash terhadap seorang ayah yang membunuh anaknya. Begitu pula ayah yang mencuri harta anaknya tidak akan dikenakan hukuman had potong tangan. Dengan adanya kedua hadist itu menimbulkan syubhat bagi pelaksanaan qishash dan had. Adapun mengenai syubhat, didasarkan atas hadist berikut:
Hindarkanlah had, jika ada syubhat. (HR. Al-Baihaqi)
2.      Jarimah hudud atau qishash diyat yang tidak memenuhi syarat akan dijatuhi sanksi ta’zir. Contohnya percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, dan percobaan zina.

3.      Jarimah yang ditentukan Al-Qur’an dan hadist, namun tidak ditentukan sanksinya. Misalnya penghinaan, tidak melaksanakan amanah, saksi palsu, riba, suap, dan pembalakan liar.


4.      Jarimah yang ditentukan ulil amri untuk kemaslahatan ummat, seperti penipuan, pencopetan, pornografi, dan pornoaksi, penyelundupan, pembajakan, human trafficking, dan money laundering.

Jarimah ta’zir apabila dilihat dari hak yang dilanggar dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :

A.    Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah, yaitu semua perbuatan yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Misalnya, berbuat kerusakan di muka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat, mencium wanita yang bukan istrinya, penimbunan bahan-bahan pokok, dan penyelundupan.

B.     Jarimah ta’zir yang menyinggung hak perorangan (individu), yaitu setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian pada orang tertentu, bukan orang banyak. Contohnya penghinaan, penipuan dan pemukulan.[[9]]




8.      PENDAPAT  IMAM MAZHAB

A.              Tersebut di dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menta’zir dan memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan dan memukul pelakunya, pernah pula beliau radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai penjual khamr dan membakar suatu desa yang menjadi tenpat penjualan khamr. Ta’zir dalam perkara yang disyariatkan adalah ta’zir yang wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah.

B.       Adapun Imam Syafi’i mengatakan bahwa Hukum Ta’zir itu tidak wajib.


9.   PENDAPAT PEMAKALAH
Hukum Ta’zir di dalam Islam harus dilaksanakan pada setiap perbuatan maksiat yang tidak ada hukuman had ataupun ketentuan membayar kafaratnya. Karena, perbuatan tersebut termasuk kategori perbuatan yang terlarang dalam syariat.Pelaksanaan hukuman ta’zir berbeda-beda sesuai dengan kejahatan yang diperbuat, sebab kejahatan sendiri ada bermacam-macam, dari yang ringan sampai yang berat. Bentuk hukuman ta’zir tidak boleh dengan cara memotong janggut seseorang. Sebab, hukuman ini bisa masuk kedalam kategori pelecehan dan penghinaan. Tidak boleh juga menjatuhkan ta’zir dengan cara yang dilarang agama seperti menyiram pelaku dengan khamr dan minuman keras. Dikarenakan hukuman ta’zir harus dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan syariat demi menciptakan kemaslahatan.














BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Dari uraian singkat tentang jinayat ta’zir di atas, terdapat hal-hal yang menarik perhatian kita untuk dikaji lebih jauh, baik yang berkaitan tentang pengertian atau definisi hingga pendapat para fuqaha tentang hal-hal yang berkaitan, yaitu :
1. Kita dapat menyimpulkan bahwa ta’zir adalah sebuah jarimah dengan kebijakan hukuman paling ringan dibanding jarimah yang lain. Jarimah ini pun memiliki tingkat kemungkinan paling luas, karena keputusan hukuman sangat bergantung pada hakim.
2. Rasulullah melarang para hakim untuk memberikan hukuman pada terdakwa pelaku jarimah ta’zir melebihi hukuman had atau untuk jarimah yang telah ditetapkan hukumannya oleh Allah. Karena sesungguhnya hukuman jarimah ta’zir di tujukan untuk mendidik agar pelaku tidak melanggar itu kembali.
3. Segala perintah dan larangan yang Allah tetntukan pasti terdapat hukuman yang mengiringinya. Baik kadarnya langsung dari Allah atau dikembalikan pada maslahat yang di pandang oleh hakim.

B.               SARAN
Menurut pemakalah, Hukum Ta’zir di dalam Islam harus dilaksanakan pada setiap perbuatan maksiat yang tidak ada hukuman had ataupun ketentuan membayar kafaratnya. Karena, perbuatan tersebut termasuk kategori perbuatan yang terlarang dalam syariat.Pelaksanaan hukuman ta’zir berbeda-beda sesuai dengan kejahatan yang diperbuat, sebab kejahatan sendiri ada bermacam-macam, dari yang ringan sampai yang berat. Hukum Ta’zir dan semua hukum islam yang diperintahkan oleh Allah adalah hukuman yang paling efektif. Kerena memenuhi semua aspek dari sebuah hukuman yaitu preventive, edukatif dan repressive.Sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang aman, damai dan tentram.





DAFTAR PUSTAKA
·         Bahreisj, Hussein, Terjemah Hadits Shahih Muslim 3, Jakarta : Widjaya, 1983
·         Al-Asqalany, Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Bandung : CV. Penerbit Diponegoro, 2002, Cet. 26
·         Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, jilid 9, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2001, Cet III
·         Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset. 2005, Cet.II.
·         Bahreisj, Hussein Khallid, Himpunan Hadits Shahih Muslim, Surabaya : Al-Ikhlas, 1987
·         Al-fauzan, Saleh, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh. Terj. Ahmad Ikhwani,dkk, Jakarta : Gema Insani, 2005
·         Shan’Ani ASH, Subulus Salam, jilid 4, Surabaya: Al-Ikhlas. 1996
·         Abu Al-Hasan Ali Al-Mawardi, Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah,  Beirut :Dar Al-Fikr, 1996
·         Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag dan Masyrofah,Fiqh Jinayah, Jakarta: AMZAH, 2007. Cet.1.


[1] ] Hussein Bahreisj, Terjemah Hadits Shahih Muslim 3, Jakarta : Widjaya 1983, Hal. 255
[2]] Al-Asqalany Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Bandung : CV. Penerbit Diponegoro 2002, Cet. 26, Hal. 576-577
[3]]  Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Juz IX, PT.Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001,
[4]]  Abu Al-Hasan Ali Al-Mawardi, Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Dar Al-Fikr, Beirut, 1996, hlm. 236.
[5]]  Drs. H. Ahmag Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam.Jakarta : Sinar Grafika, 2005. Hlm. 255
[6]] Hussein Khallid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih Muslim, Surabaya : Al-Ikhlas, 1987, Hal. 241-242
[7]] Saleh al-fauzan, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh.Terj. Ahmad Ikhwani,dkk, Jakarta : Gema Insani, 2005, Hal. 847
[8]]  Ash.Shan’Ani,  Subulussalam, Terj. H.Abubakar Muhammad, Surabaya: Al-Ikhlas, hlm. 158
[9] Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag dan Masyrofah. Fiqh Jinayah, Jakarta: AMZAH. 2007, hlm.143-144

Tidak ada komentar:

hukum jaminan : KEPASTIAN HUKUM GADAI TANAH PERTANIAN MASYARAKAT DESA

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dilalui oleh garis khatulistiwa, i...